Lihat ke Halaman Asli

Filsafat Logika | Filsafat Hukum Episode 8: Positivisme Hukum

Diperbarui: 4 Oktober 2025   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Kejaksaan

Filsafat Hukum Episode 8: Positivisme Hukum

Bab I: Positivisme sebagai Arus Utama Filsafat Hukum

1.1. Apa itu Positivisme Hukum? 

Positivisme hukum adalah salah satu aliran paling berpengaruh dalam filsafat hukum modern, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum tidak ditentukan oleh kebaikan moral atau keadilan substansialnya, melainkan oleh sumber formal yang sah. Berbeda dengan teori hukum alam yang menautkan hukum dengan moralitas universal, positivisme berangkat dari asumsi metodologis bahwa hukum harus dipelajari sebagai sistem normatif yang otonom.

Tradisi ini berakar pada karya Jeremy Bentham dan John Austin di abad ke-19. Bentham menolak "metafisika hukum alam" dan menekankan kodifikasi hukum positif demi kepastian. Austin kemudian memformulasikan definisi hukum sebagai perintah dari penguasa yang berdaulat, didukung ancaman sanksi. Hukum, bagi Austin, adalah instrumen komando, bukan refleksi keadilan moral.

Pada abad ke-20, positivisme berkembang lebih kompleks. Hans Kelsen dengan Pure Theory of Law berusaha membangun ilmu hukum yang murni, bebas dari politik dan moralitas. Ia memperkenalkan konsep Grundnorm sebagai norma dasar yang menjadi fondasi validitas seluruh sistem hukum. H.L.A. Hart, filsuf hukum dari Oxford, melengkapi warisan ini dengan konsep "aturan pengakuan" (rule of recognition) yang menjelaskan bagaimana sebuah masyarakat menentukan validitas hukum tanpa perlu merujuk pada nilai moral eksternal.

Positivisme hukum menekankan deskripsi, bukan preskripsi. Tujuannya adalah membedakan analisis hukum dari filsafat moral, politik, maupun teologi. Dengan cara itu, ia memungkinkan hukum dipahami secara ilmiah, konsisten, dan dapat diverifikasi. Kritik dari kalangan non-positivis sering menilai bahwa pemisahan ini terlalu kaku, tetapi kekuatan positivisme justru terletak pada kejelasan metodologisnya.

Secara historis, positivisme hukum tumbuh dalam konteks modernitas, ketika negara-bangsa membutuhkan kepastian hukum dan otoritas normatif yang terlembaga. Hingga kini, ia tetap menjadi paradigma dominan dalam fakultas hukum di seluruh dunia, terutama karena kegunaannya dalam praktik hukum sehari-hari.

1.2. Prinsip Inti: Pemisahan Hukum dan Moral (Separation Thesis) 

Prinsip inti positivisme hukum adalah tesis pemisahan (separation thesis) antara hukum dan moralitas. Bagi para positivis, pertanyaan "apakah hukum berlaku?" berbeda dari "apakah hukum itu adil?". Validitas hukum ditentukan oleh kriteria formal dalam sistem hukum, bukan oleh isi moralnya.

Austin menekankan bahwa hukum adalah perintah berdaulat yang ditaati, terlepas dari adil atau tidaknya. Kelsen mengembangkan argumen serupa dengan menyatakan bahwa ilmu hukum murni harus netral, tidak boleh bercampur dengan politik atau etika. Hart lebih moderat: ia mengakui bahwa moral sering memengaruhi isi hukum, tetapi menolak bahwa moralitas adalah syarat keberlakuan hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline