Lihat ke Halaman Asli

Rafi Syah Putra

Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Terlalu Tertutup: Masalah Akses Pengetahuan Filologis di Indonesia

Diperbarui: 14 Oktober 2025   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto oleh Annie Spratt di Unsplash       

Warisan budaya tidak akan hidup jika hanya jadi koleksi para akademisi.

Di berbagai sudut Nusantara, ribuan naskah kuno tersimpan rapi dalam lemari besi lembaga arsip dan museum. Kertasnya mungkin sudah menguning, tintanya mulai memudar, tetapi isinya---tentang kehidupan, kebijaksanaan, dan pandangan dunia leluhur---masih tetap bernyawa. Ironisnya, semakin rapi naskah-naskah itu disimpan, semakin jauh pula ia dari generasi yang seharusnya mewarisinya.

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan manuskrip terbanyak di Asia Tenggara. Ada Serat Centhini yang menulis kehidupan Jawa dengan mendalam, Hikayat Hang Tuah yang menanamkan nilai kesetiaan, atau Lontarak Bugis yang merekam struktur sosial dan hukum adat. Namun, di tengah kebanggaan itu, muncul kenyataan getir: hanya segelintir orang yang pernah membaca naskah-naskah tersebut. Sebagian besar masyarakat---terutama generasi muda---bahkan tidak tahu di mana mereka bisa mengaksesnya.

Krisis ini berawal dari cara lembaga-lembaga kita memperlakukan naskah kuno. Banyak arsip, perpustakaan, atau museum yang masih bersifat tertutup. Untuk melihat satu naskah saja, seseorang harus melewati serangkaian prosedur administratif yang panjang, menulis surat izin penelitian, dan menunggu waktu yang tidak pasti. Akibatnya, manuskrip yang sejatinya merupakan milik bersama bangsa justru terasa seperti milik segelintir akademisi.

Padahal, pengetahuan yang tersimpan dalam naskah tidak hanya untuk kalangan ilmuwan. Ia mengandung warisan moral, pengetahuan lokal, hingga filosofi hidup yang bisa menginspirasi masyarakat luas. Tapi selama aksesnya dibatasi, naskah akan tetap menjadi "teks beku"---diam di dalam rak, tidak pernah hidup di tengah masyarakat yang terus bergerak.

Masalah akses ini diperparah oleh minimnya digitalisasi dan kurangnya kesadaran publik tentang pentingnya pelestarian naskah. Sejumlah inisiatif seperti DREAMSEA (Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia) memang telah berupaya mendigitalkan ribuan naskah Nusantara dan membukanya secara daring. Namun jumlah itu baru sebagian kecil dari total naskah yang ada. Banyak manuskrip di pesantren, rumah adat, atau koleksi keluarga yang belum tersentuh sama sekali. Di era di mana pengetahuan bisa berpindah dalam hitungan detik, kondisi ini terasa seperti paradoks: kita hidup di zaman serba digital, tetapi tidak mampu membuka jendela digital untuk warisan sendiri.

Masalah lain yang jarang dibicarakan adalah bahasa akademik yang terlalu tertutup. Kajian filologi sering terkungkung dalam ruang seminar dan jurnal ilmiah yang hanya bisa dipahami oleh segelintir peneliti. Akibatnya, masyarakat awam merasa bahwa dunia naskah adalah dunia yang asing dan "tidak untuk mereka". Padahal, jika isi naskah diterjemahkan dan dikisahkan kembali dengan cara yang menarik---lewat buku populer, film, pameran, atau media sosial---naskah-naskah itu bisa kembali hidup dan berinteraksi dengan publik.

Sudah saatnya kita memandang manuskrip bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi juga sumber daya pengetahuan masa kini. Naskah tidak hanya merekam tradisi, tetapi juga memperlihatkan cara berpikir masyarakat lama dalam menghadapi kehidupan. Nilai-nilai itu masih relevan di tengah dunia modern yang sering kehilangan akar dan arah. Membaca naskah kuno bukan berarti mundur ke masa lalu; justru sebaliknya, itu adalah cara untuk memahami bagaimana leluhur kita berpikir, berdebat, dan menafsirkan hidup.

Akses terhadap manuskrip bukan hanya soal membuka lemari arsip, tetapi juga soal membuka cara pandang. Kita butuh paradigma baru: bahwa naskah bukan benda suci yang harus dijauhkan dari masyarakat, melainkan sumber kehidupan intelektual yang harus dibagikan. Lembaga penyimpanan naskah perlu berkolaborasi dengan universitas, komunitas literasi, dan media digital untuk membuat platform terbuka, pameran interaktif, atau program "adopsi naskah" yang melibatkan masyarakat.

Selain itu, generasi muda harus diajak untuk menjadi "pembaca baru" bagi warisan lama ini. Naskah kuno bisa menjadi inspirasi bagi film, komik, atau permainan digital yang berbasis budaya lokal. Di tangan generasi kreatif, manuskrip tidak akan berhenti sebagai teks kuno, tetapi menjelma menjadi sumber imajinasi baru. Jika warisan ini bisa diolah dengan pendekatan kreatif, maka filologi tidak lagi identik dengan studi yang kaku dan kuno, melainkan dengan cara baru memahami identitas bangsa.

Warisan budaya tidak akan hidup jika hanya jadi koleksi para akademisi. Manuskrip Nusantara seharusnya menjadi milik semua orang---dibaca, dipelajari, dan dirayakan bersama. Jika kita terus membiarkan naskah-naskah itu terkunci di balik pintu arsip yang dingin, maka yang hilang bukan hanya lembaran tua, tetapi juga jejak kebijaksanaan yang pernah membentuk peradaban bangsa ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline