Semarang -- Fenomena anak jalanan kembali menjadi sorotan setelah sekelompok mahasiswa dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) melakukan kegiatan lapangan di bawah bimbingan Drs. Sugiyarta SL, M.Si. dan Miftahun Najah, S.Psi., M.A. Kegiatan ini merupakan bagian dari mata kuliah Patologi Sosial yang bertujuan memahami berbagai bentuk penyimpangan sosial di masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran untuk mencari solusi yang lebih empatik.
Sejak 17 September 2025, para mahasiswa mulai menjalin komunikasi dengan pihak Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah untuk mengumpulkan data lapangan mengenai isu anak jalanan. Mereka melakukan observasi dan wawancara secara mendalam pada 23 September 2025.
Wawancara Narasumber
Dari hasil wawancara, mahasiswa menemukan bahwa anak jalanan bukanlah anak-anak yang "bermasalah," melainkan korban dari kondisi sosial dan ekonomi yang tidak berpihak. Banyak dari mereka terpaksa bekerja di jalan untuk membantu keluarga, bukan karena keinginan sendiri. Pegawai Dinas Sosial menjelaskan bahwa akar persoalan ini meliputi kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan lemahnya kesadaran keluarga tentang hak anak. Sebagian anak juga turun ke jalan karena masalah keluarga seperti perceraian dan kekerasan.
Aspek keluarga menjadi faktor yang paling kuat dalam membentuk realitas anak jalanan. Kurangnya dukungan emosional dan tekanan hidup membuat mereka mencari kebebasan di luar rumah. Jalanan bagi mereka bukan hanya tempat bekerja, tapi juga ruang sosial tempat merasa diterima, meski penuh risiko.
Selain faktor keluarga, pendidikan juga berperan penting. Banyak anak putus sekolah karena keterbatasan biaya. Pemerintah melalui Dinas Sosial berupaya menjalankan program re-schooling dan pelatihan keterampilan seperti menjahit, tata boga, hingga servis elektronik, agar mereka memiliki masa depan yang lebih baik.
Dari aspek ekonomi, kemiskinan menjadi akar masalah utama. Banyak keluarga tidak memiliki penghasilan tetap, sehingga anak-anak ikut bekerja. Fenomena ini sesuai teori strain Robert K. Merton, bahwa tekanan sosial dan ekonomi mendorong individu mencari cara alternatif untuk bertahan hidup.
Selain itu, lingkungan sosial juga berpengaruh. Anak-anak dari wilayah padat dan miskin mudah terpengaruh teman sebaya yang juga hidup di jalan. Sementara masyarakat sering memandang mereka negatif, padahal mereka korban dari struktur sosial yang tidak adil.
Pemerintah sendiri telah menjalankan berbagai program seperti rehabilitasi anak jalanan, rumah singgah, reunifikasi keluarga, dan pelatihan keterampilan. Pendekatan kini lebih rehabilitatif dan edukatif, tidak lagi sekadar razia. Anak-anak dibimbing secara psikologis dan sosial agar dapat membangun kembali rasa percaya diri.
Meski banyak kendala seperti keterbatasan tenaga sosial dan anggaran, semangat para pekerja sosial tetap tinggi. Mereka memandang kerja sosial sebagai panggilan kemanusiaan untuk memulihkan fisik, mental, dan karakter anak-anak.