Lihat ke Halaman Asli

Puji Purwaningsih

Hisservant for Christian education

Etika Kristen dalam Menyikapi Masalah Transgender

Diperbarui: 26 Mei 2025   08:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya tertarik dengan deklarasi yang disampaikan oleh Paus Leo XIV. Paus terpilih dengan tegas menyatakan sikapnya terhadap pernikahan dan aborsi. Pernikahan adalah antara pria dan wanita untuk menanggapi isu pernikahan sesama jenis serta menentang aborsi. Deklarasi ini sontak menuai berbagai komentar pro dan kontra. Namun sebagai seminarian, saya secara pribadi bersyukur karena dengan tegas gereja menyuarakan kebenaran terkait hal ini karena sikap gereja dapat menjadi salah satu dasar jemaat bagi pengambilan keputusan etis.

Ketika membaca berbagai artikel media tentang berita ini saya teringat pada tulisan yang pernah saya buat semasa kuliah di semester dua tentang masalah etika Kristen yakni transgender. Pada waktu itu saya menyimpulkan pentingnya gereja sebagai penjaga kebenaran. Jika gereja tidak tegas terhadap hal ini, atau berada di area abu-abu terhadap suatu kebenaran maka akan membuat umat Kristen menoleransi berbagai bentuk penyimpangan gender dengan dasar keputusan etis yang tidak kokoh. Di bawah ini adalah tulisan saya saat itu, pada bagian kebijakan gereja sudah sedikit saya sesuaikan dengan deklarasi yang dibuat oleh Paus Leo XIV terkait dengan pernikahan dan aborsi.

 Faktor Penentu Identitas Bagi Para Transgender

Pertanyaan penting yang muncul adalah apakah faktor penentu identitas gender? Para teolog yang melihat faktor jiwa manusia kunci dari pribadi manusia lebih cenderung menekankan faktor eksternal tentang seksualitas. Pandangan ini didasarkan bahwa gender adalah sesuatu yang kita bisa pilih atau lakukan bukan berdasarkan siapa kita. Identitas gender tidak diberikan dan tidak ditentukan tetapi dapat bergeser dan bahkan dapat berubah dari waktu ke waktu – yaitu bisa laki-laki atau perempuan, tetapi mungkin memiliki karakteristik keduanya, dan dapat mengidentifikasi dengan baik pada waktu yang berbeda dalam perjalanan seumur hidup. [1]

Mereka yang menekankan nilai yang lebih tinggi pada tubuh manusia sebagai bagian integral gender lebih mungkin merefleksikan fakta bahwa tubuh manusia adalah entitas gender. Pandangan ini disebut sebagai pandangan esensial. Mereka yang berpandangan esensialis sering menunjukkan bahwa dikotomi tubuh-jiwa adalah perbedaan menurut pandangan Yunani dan bukan Ibrani, dan bahwa kebangkitan tubuh menegaskan kesatuan permanen tubuh dan jiwa.[2]

Gagasan identitas transgender memadukan unsur-unsur dari pandangan esensialis dan eksternalis. Artinya, orang-orang transgender memahami gender sebagai bentuk identitas yang esensial tetapi bukan secara fisik.[3] Sehingga mereka merasa dilahirkan dalam gender yang bukan identitas mereka yang sebenarnya. Dengan demikian, gender dapat diubah dengan mengubah atribut fisik melalui operasi dan terapi hormon, serta melalui penanda sosial seperti pakaian, gaya rambut, dan rias wajah agar sesuai dengan perasaan identitas gender seseorang yang sebenarnya.

Argumen pertama, yang mematahkan pandangan ini adalah secara deontologis Tuhan menciptakan manusia sebagai heteroseksual untuk saling melengkapi. Kita dapat menyimpulkan desain Allah untuk laki-laki dan perempuan demikian: sederajat dan berbeda, ditentukan; dan tidak dapat dipertukarkan atau diubah.[4] Apa pun perilaku yang muncul akibat gender disporia seharusnya tidak membuat penilaian kita terhadap gender berubah atau kabur.

Argumen kedua, tidak ada orientasi seksual yang tetap.  Hal ini menanggapi pandangan esensial yang meremehkan prokreasi sehingga membahayakan institusi pernikahan yang Allah rancangkan untuk mandat budaya. Dan juga menyoroti pandangan eksternal yang menekankan penerimaan perilaku sesama jenis. Setiap orang akan menghadapi masa-masa di mana kecenderungan seksual yang berlawanan dengan jenis kelamin bawaan lahir.  Biasanya dipicu oleh berbagai faktor dan tidak permanen.  

 

Pandangan Alkitab Terhadap Identitas Gender

Pandangan etika Kristen bersumber dari wahyu umum dan wahyu khusus dalam Alkitab. Dari pandangan prokreasi menurut Geisler jenis kelamin seseorang adalah faktor teleologis dan ditentukan bagi kehidupan setiap individu. Seks bukan hanya diciptakan Allah dengan membuat manusia “laki-laki dan perempuan” (Kej. 1:27); seks juga dikuduskan sebagai sarana melaksanakan mandat budaya, “beranak cucu dan bertambah banyak.” (Kej. 1:28). [5] Lebih jauh lagi Browson menambahkan, seks tidak hanya dirancang dalam tujuan mula penciptaan tetapi juga berbeda.[6] Perbedaan yang saling melengkapi antara pria dan wanita. Perbedaan secara anatomi bagi tujuan dan perannya.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline