Lihat ke Halaman Asli

Rilo PambudiS

Mahasiswa

Dari Pengalaman Menuju Stabilitas Keuangan

Diperbarui: 3 Agustus 2019   17:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi belajar dari pengalaman menuju stabilitas keuangan. Sumber: Dok. Pribadi

Merantau sering kali dikaitkan dengan kemandirian hidup. Lazimnya orang mengatakan "jauh dari orang tua akan membuatmu mandiri". Bagi saya yang masih bau kencur, kata-kata itu bagaikan sugesti namun sulit dalam implementasi. Tidak sedikit tantangan yang harus dilalui untuk mencapainya. Mulai dari lingkungan baru, budaya baru, bahkan sering menemukan perbedaan secara bahasa untuk berkomunikasi. Lebih-lebih soal keuangan.

Maklum. Perpindahan dari wilayah yang serba sulit dicari menjadi 'serba gampang asal ada uang' memang mudah menggoyahkan keimanan. Akibatnya, mengelola keuangan adalah hal paling sulit di masa-masa awal indekos. Berapapun uang digenggam seketika raib, entah untuk membeli barang yang dibutuhkan atau sekedar keinginan memiliki.

Realitas di atas mengingatkan saya pada sebuah teori konsumsi. Seperti dikatakan Duesenberry dalam teorinya, bahwa jumlah konsumsi seseorang tergantung dari besarnya pendapatan tertinggi yang pernah dimiliki sesorang tersebut.

Teori ini berangkat dari dua asumsi (Mangkoesoebroto, 1998: 70). Pertama, selera seseorang atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya pengeluaran seseorang dipengaruhi pengeluaran orang-orang di sekitarnya. Dengan kata lain, apabila konsumsi masyarakat di suatu wilayah tinggi maka akan berdampak pada peningkatan pengeluaran seseorang di wilayah tersebut.

Kedua, pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya pengeluaran seseorang tergantung dengan penghasilan yang dimiliki. Sederhananya, semakin banyak pendapatan semakin banyak pengeluaran.

Sebagai pendatang di tempat baru, dua asumsi Duesenberry benar-benar terasa aplikasinya. Lebih tepatnya disebut boros dalam membelanjakan uang.

Belajar dari Akhir Bulan

Meme akhir bulan. Sumber: brilio.net

Pernah mengakses meme ini? Entah sekedar untuk hiburan atau bernostalgia. Bagi anda yang bernostalgia mungkin kita pernah merasakan hal yang sama. Ya, sama-sama defisit karena neraca pengeluaran lebih berat dari pemasukan.

Sulitnya mengontrol keuangan acap kali menyebabkan pengeluaran tak terbendung. Bahkan muncul istilah 'akhir bulan' di kalangan anak kos. Istilah yang membuat saya prihatin dengan diri sendiri. Hedonisme yang saya lakukan di awal bulan membuat kondisi keuangan menjadi 'sekarat' di akhir bulan. Barang konsumsi juga berkurang levelnya, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline