Cahaya matahari pagi menembus lembut tirai renda tipis, memantulkan pola-pola emas yang menari di atas lantai kayu tua. Udara kamar terasa hangat, mengandung aroma samar kopi yang tersisa dari malam sebelumnya. Evelyn meregangkan tubuhnya di bawah selimut, membiarkan kulitnya meresapi hangat itu, sambil mendengar dengung jauh kota yang baru saja terbangun.
Di sampingnya, napas Nathan terdengar teratur, dalam dan tenang, mengisi keheningan ruangan seperti lagu yang sudah lama ia kenal. Kehadiran pria itu selama ini adalah jangkar yang membuatnya merasa aman, sesuatu yang ia pikir tak akan pernah goyah.
Mereka telah membangun dunia mereka sendiri---dunia yang dipenuhi mimpi-mimpi yang dibisikkan di tengah malam, ciuman-curian di bawah kanopi dedaunan yang bergoyang, janji-janji tak tertulis yang seolah digantungkan di langit berbintang. Cinta mereka dulu terasa seperti benteng yang tak bisa ditembus, seperti garis takdir yang Tuhan ukir sejak awal.
Tawa mereka pernah mengalir bebas, memantul di sore-sore yang diterangi sinar mentari, menghangatkan malam-malam bercahaya lilin. Tetapi, Evelyn perlahan mulai menyadari---cinta kadang bisa menjadi ilusi yang kejam. Sebuah fatamorgana yang tampak nyata, namun menguap tepat saat kita mengulurkan tangan untuk menggenggamnya.
Semuanya bermula dari hal-hal kecil. Malam-malam larut yang berubah menjadi fajar tanpa penjelasan. Aroma samar parfum yang bukan miliknya, menempel di kerah kemeja Nathan. Laki-laki itu selalu penuh gairah, matanya berkilat setiap kali berbicara tentang seni, perjalanan, atau keindahan dunia yang ia lihat. Tapi belakangan, api itu redup. Kehangatannya merembes keluar, menghilang seperti pasir yang lolos dari sela-sela jari Evelyn.
Hingga malam itu, Evelyn menemukannya.
Sebuah buket mawar merah tua yang mempesona, kelopaknya mekar penuh, harum menusuk hidung, dibalut pita sutra lembut yang jatuh dengan anggun. Sekilas, hatinya melonjak---mungkin Nathan ingat. Ingat bahwa warna merah adalah favoritnya, ingat bahwa ia percaya bunga memiliki bahasa sendiri.
Namun, matanya lalu tertumbuk pada kartu kecil yang terselip.
"Dari lubuk hatiku, kau telah merenggut jiwaku. Setiap momen kecil bersamamu membuatku merasa utuh."
Jari-jarinya bergetar saat menyusuri tulisan rapi itu. Hatinya berharap... sampai matanya menemukan nama yang tergores di bawahnya---nama asing namun terasa begitu akrab bagi pengirimnya. Bukan namanya. Bukan untuknya.