Lihat ke Halaman Asli

Primawati Kusumaningrum

Ibu Rumah Tangga | Blogger | Freelance writer

Cara Saya "Menghadirkan" Peran dan Sosok Ayah bagi Anak Meski Menjalani Long Distance Marriage

Diperbarui: 16 Juni 2025   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi sebuah keluarga yang menghabiskan waktu bersama-sama. Sumber: Freepik/Prostooleh

Dewasa ini, kita kian sering menemukan keluarga dan pasangan yang menjalani LDM atau Long Distance Marriage, yakni sebuah kondisi di mana hubungan pernikahan sebuah keluarga dan pasangan harus terpisah oleh jarak. Entah karena keperluan studi, pekerjaan, maupun karena kondisi tertentu sehingga mengharuskan mereka untuk hidup berjauhan.

Meskipun demikian, tidak sedikit keluarga dan pasangan yang mampu bertahan dan berhasil dalam menjalani LDM, termasuk keluarga saya sendiri.

Tantangan Keluarga LDM dan Kekhawatiran terhadap Isu Fatherless

Sebagai sebuah keluarga, tentunya LDM bukan sebuah kondisi yang ideal untuk dijalani. Banyak tantangan yang hadir dalam perjalanannya. Rasa kesepian akibat rindu karena tak bertemu, komunikasi yang kadang terhambat, penyelesaian konflik yang tertunda, hingga kurangnya bonding dengan pasangan menjadi dinamika sehari-hari bagi keluarga yang menjalani LDM. 

Namun dari semua tantangan tersebut, hal yang paling menantang bagi saya adalah munculnya kekhawatiran terhadap isu fatherless bagi sang buah hati. Sudahlah anak jarang bertemu secara fisik dengan ayahnya, ketika waktunya libur pun seringkali ayahnya masih harus berbagi dengan urusan pekerjaan. 

Sempitnya waktu untuk menghabiskan momen bersama keluarga dan energi yang terbatas akibat kesibukan pekerjaan membuat isu fatherless menjadi lebih besar bagi keluarga yang menjalani LDM.

Bagaimana jika anak saya juga mengalami fatherless?

Ilustrasi seorang anak perempuan merangkul ayahnya. Sumber: Freepik/Freepik

Sebagai seorang istri yang menjalani LDM dan juga seorang ibu yang aware terhadap tumbuh kembang anak, isu fatherless kerap kali menjadi kekhawatiran saya. Hal yang wajar, mengingat di Indonesia sendiri, isu fatherless cukup menjadi perhatian utama karena dapat berdampak pada psikologis anak di masa depan.

Meskipun demikian, tidak seharusnya kondisi LDM menjadikan seorang anak yang tumbuh di dalamnya mengalami fatherless. Demi mengurangi kekhawatiran tersebut, saya dan suami pun memutuskan untuk berkonsultasi dengan psikolog anak di sebuah sentra pengembangan dan layanan psikologi untuk keluarga.

Berikut ini tips-tips yang keluarga saya terapkan agar anak tidak sampai mengalami fatherless.

1. Memberi endorsement positif terhadap kelebihan-kelebihan yang ada pada diri ayah saat mengobrol dengan anak.

Misalnya, saat saya dan anak sedang berkegiatan bersama, saya selalu menyisipkan kata-kata yang mengindikasikan kehadiran ayah meskipun secara fisik sedang berjauhan. Contoh:  "Eh, ayah tu enak banget loh kalau bikin nasi goreng. Nanti kalau ayah di rumah, kita minta ayah buat bikinin, yuk!"

2. Menghindari penggunaan kalimat-kalimat negatif tentang kondisi yang sedang dihadapi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline