Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Pidato "Game of Thrones" dan Upaya Membumikan Bahasa Ilmiah dalam Budaya Populer

Diperbarui: 14 Oktober 2018   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Infografis Tribun Bali/Dwi Suputra

Siapa sih yang senang membaca jurnal-jurnal ilmiah? Jika tidak dalam keadaan "terpaksa" seperti hendak membuat jurnal, makalah, esai atau tulisan lain yang penuh dengan bahasa ilmiah, bisa dipastikan nyaris tak ada orang yang bisa menikmati bacaan ilmiah. Kecuali mereka yang memang sudah terbiasa membacanya seperti para profesor dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lain. Apalagi di tengah masyarakat yang tingkat budaya literasinya masih sangat rendah, seperti di Indonesia ini.

Fakta bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah tak perlu dielakkan. Menurut data statistik dari UNESCO, dari total 61 negara, Indonesia berada di peringkat 60 dengan tingkat literasi rendah, satu tingkat diatas Bostwana. Jangankan membaca artikel ilmiah, membaca buku-buku yang ditulis dalam bahasa populer pun masyarakat kita masih enggan.

Ini menjadi sebuah paradoks tersendiri ketika kita membandingkan dengan budaya digital yang mendera masyarakat Indonesia. Menurut survei Hootsuite, dari 8 jam 51 menit waktu yang dihabiskan untuk menggunakan internet, 2 jam 45 menit di antaranya digunakan untuk menonton layanan video streaming. Masyarakat kita lebih senang menjadi generasi penonton daripada generasi pembaca.

Seandainya ada konten yang dibaca, kita juga cenderung lebih suka membaca hal-hal yang ringan saja. Salah satu sebabnya ada pada gaya bahasa yang dipakai. Bahasa populer lebih disukai daripada bahasa ilmiah.

Ilmu pengetahuan memang sering membuat audiens merasa tidak nyaman karena memaksa mereka berada di luar basis pengetahuan mereka. Karena itu, artikel atau tulisan yang di dalamnya penuh dengan muatan ilmu pengetahuan dan gaya bahasa ilmiah jarang menarik minat perhatian masyarakat untuk membacanya.

Semestinya ada sebuah upaya agar tulisan dengan muatan ilmu pengetahuan menjadi menyenangkan untuk dibaca. Hal ini bisa memaksimalkan audiens untuk berinteraksi langsung dengan konsep ilmu pengetahuan yang dijabarkan dalam tulisan karena mereka memang menginginkannya, bukan karena rasa "terpaksa".

Salah satu caranya adalah dengan membumikan bahasa ilmiah dalam budaya populer sebagai penghubung antara ilmu pengetahuan dengan masyarakat umum.

Mengambil sesuatu yang familiar dengan audiens (misalnya superhero, karakter film atau video game) dan menautkannya dengan ilmu pengetahuan atau wacana ilmiah - yang mana hal ini tidak mereka sukai - memungkinkan mereka untuk memasuki dunia ilmiah tanpa harus dihalangi oleh tembok tak kasat mata.

Maha guru ilmu komunikasi Marshall Mcluhan mengatakan bahwa "medium adalah pesan" (McLuhan, 1964) yang dimaksudkan untuk menyoroti pentingnya pengetahuan dan cara penyajiannya. Kita harus menggabungkan medium dan pesan yang ingin kita sampaikan untuk benar-benar berkomunikasi dengan khalayak kita.

Penggunaan ikon budaya populer bisa menjadi medium yang sangat baik dan tepat, karena mereka mewakili akses yang tanpa batas untuk kepentingan masyarakat umum.

Salah satu contoh yang baik dari penggunaan budaya populer untuk menyampaikan ilmu pengetahuan/wacana ilmiah adalah pidato presiden Jokowi yang memakai analogi karakter fiksi (Thanos, The Avengers, Evil Winter serta Game of Thrones). Siapapun yang mengkonsep 2 pidato tersebut (saya yakin pak Jokowi tinggal membacanya saja) mengerti bagaimana cara membumikan bahasa ilmiah ke dalam budaya populer untuk menarik perhatian pembaca.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline