Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Membandingkan Ali Topan, Lupus dan Dilan

Diperbarui: 6 Februari 2018   04:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (grafis: pribadi)

Setiap zaman punya idola masing-masing. Setiap zaman juga selalu mampu menciptakan tokoh idola baru. Entah itu tokoh nyata atau hanya rekaan fiksi belaka. Yang menarik, dalam khasanah pengidolaan di Indonesia, mereka didominasi oleh tokoh fiktif. 

Tahun 70-80 an, kita punya Ali Topan milik Teguh Esha, Arjuna yang dimunculkan Yudhistira ANM Masardi, sampai Joki Tobing yang diciptakan Ashadi Siregar. Tahun 90-2000-an Hilman sukses membuat remaja kita mengelu-elukan nama Lupus, yang mencoba diimbangi oleh Roy Boy Harris lewat avonturirnya di Balada Si Roy milik Gola Gong.

Era milenial juga tak luput dari kemunculan tokoh fiktif yang menjadi idola anak-anak muda. Lihatlah ketika para remaja terpesona dengan religiusitasnya Fahri bin Abdullah Shiddik dalam Ayat-Ayat cinta. Yang berumur lebih muda terbius dengan karakter Boy di sinetron Anak Jalanan. Sampai kemudian muncullah Dilan.

Dari sekian banyak tokoh fiktif yang jadi idola tadi, cuma ada tiga yang mampu menimbulkan histeria dan menciptakan trend tersendiri. Ali Topan, Lupus dan Dilan. Maka membandingkan ketiganya adalah wajar karena setara.

Ali Topan, Lupus serta Dilan tercipta dan besar melalui novel yang kemudian mengalami proses ekranisasi (adaptasi buku ke film). Persamaan karakter ketiga tokoh fiksi tersebut yang utama adalah mempunyai tipikal "Bad Boy".

Ali Topan dengan gaya crossboy dan pemberontak, Lupus yang santai dan slengekan, serta Dilan yang digambarkan jadi ketua geng motor. Remaja laki-laki dengan sosok nakal, jahil, urakan, dan suka melanggar peraturan memang seringkali terlihat lebih mencolok dan mampu menghipnotis penggemar daripada yang sekadar patuh dan tunduk. Fahri mungkin perkecualian.

Karakter Pemberontak Ali Topan

Ali Topan mampu menjadi idola karena penggambaran karakternya yang mewakili semangat generasi muda di zamannya. Akhir tahun 70an, kota Jakarta yang menjadi latar belakang novel Ali Topan sedang giat-giatnya melakukan pembangunan ikonik seperti Monas dan Pekan Raya Jakarta.

Hal ini memunculkan banyak wajah-wajah baru, pembaruan sosial yang baru. Dan diiringi dengan derasnya arus keterbukaan saat itu, remaja Jakarta tak pelak merasa di persimpangan jalan dan mengalami culture shock. Implikasi dari keterkejutan sosial inilah yang kemudian memicu pemberontakan identitas dan semangat crossboy, yang oleh Teguh Esha diartikan sebagai "kebebasan dengan keliaran".

Remaja Jakarta menemukan semangat crossboy dalam sosok Ali Topan yang digambarkan urakan, tidak betah di rumah, korban broken home, dan cenderung memberontak pada pihak-pihak yang punya kuasa. Lihatlah ketika Ali Topan tidak terima ditegur saat ketahuan merokok di kantin sekolah, atau sikap kalemnya tanpa rasa takut saat diinterogasi polisi karena dianggap melarikan Anna Karenina.

Masa Keemasan Orde Baru dalam Kehidupan Lupus

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline