Lihat ke Halaman Asli

Alex Palit

Jurnalis

Jokowi, Rock, Revolusi Mental, dan Pencitraan

Diperbarui: 12 Februari 2019   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi dan anggota grup band Slank (foto dok. Tribunnews.com)

Sebagaimana takdirnya, "Rock" adalah spirit perubahan, spirit perlawanan terhadap mentalitas yang bobrok atas segala bentuk dehumanisasi. Atau dengan kata lain bahwa "Rock" identik dengan "Revolusi Mental". Karena pada intinya "Rock" dan "Revolusi Mental" mengandung makna kata yang sama yaitu perubahan.

Dengan bersemangatkan "Rock" ini pula yang pada akhirnya diharapkan menjadi daya dobrak menuju perubahan itu sendiri, termasuk perubahan mentalitas sebagaimana spirit jargon "Revolusi Mental".    

Ketika timbul pertanyaan, lalu adakah relasi "Rock" dengan "Revolusi Mental" yang bersemangatkan perubahan ini dengan kesinambungan keterpilihan Presiden Jokowi yang juga mendapat julukan "Presiden Rock N' Roll Indonesia" di Pilpres 2014?

Sejauhmana pula semangat perubahan spirit "Rock" dan "Revolusi Mental" itu dijiwai dan dihidupi oleh Presiden Jokowi yang berjuluk "Presiden Rock N' Roll Indonesia".

Sebagai pemimpin rakyat berjiwa rock yang di kampanye Pilpres 2014 selalu meneriakkan jargon "Revolusi Mental" sambil mengangkat salam tiga jari, pastinya Presiden Jokowi paham betul akan inti makna kata "Rock" dan "Revolusi Mental".

Di mana disebutkan bahwa musik rock bukan sekadar simbolisasi kebebasan, didalamnya juga dijiwai oleh semangat daya dobrak perubahan.

Pastinya semua berharap, kecintaan mantan Walikota Solo dan mantan Gubernur DKI Jakarta pada musik rock pastinya bukan sekadar basa-basi yang sengaja dirancang diperuntukkan politik pencitraan.

Rock dan Politik

Kalau sebelumnya panggung musik tak lebih dari sekadar dipakai sebagai magnet daya tarik penghimpun massa mengambang (floating mass) saat kampanye. Kini musik sudah ditarik menjadi media instrumentasi kepentingan politik.

Sebagaimana terlihat di Pilpres 2014 kemarin, musik yang sebelumnya tak lebih dipakai sebagai magnet daya tarik penghimpun massa saat gelar kampanye, kini sudah ditarik menjadi media instrumentasi kepentingan politik untuk memobilisasi dukungan.  

Musik pun bukan lagi sekadar menjadi panggung penggembira saat gelar kampanye, tapi sudah sudah ditarik dalam ranah pergumulan politik menjadi instrumentasi kekuatan kepentingan politik. Mobilisasi dukungan di kalangan internal pemusik inipun tak terelakkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline