Lihat ke Halaman Asli

Pardomuan Gultom

Dosen STIH Graha Kirana

Jalan Panjang RUU MHA Memperoleh Pengakuan

Diperbarui: 30 April 2021   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Ubi Societas Ibi Ius, di mana ada masyarakat, di situ ada hukum." Demikian adagium yang pernah diungkapkan Marcus Tullius Cicero, seorang ahli hukum Romawi yang hidup antara 106-43 SM. Ungkapan ini bermakna bahwa hukum lahir dan terbentuk akibat dari pola interaksi sesama anggota masyarakat yang mengandung nilai-nilai dan hubungannya terhadap alam dimana ia tinggal serta melangsungkan kehidupan secara turun-temurun hingga pada akhirnya membentuk kebudayaan. 

Dalam konteks masyarakat adat, hukum yang terbentuk adalah hukum adat, yang mendasarkan sistem kehidupannya pada adat-istiadat yang mencakup larangan dan kebiasaan yang telah diwariskan secara turun-temurun dan berkelanjutan. Pentingnya pengakuan terhadap masyarakat adat dalam bentuk undang-undang bukan saja dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat adat, tetapi lebih jauh dari itu, yakni menjamin tercapainya keadilan bagi masyarakat adat.

Legal Standing

Jika ditarik ke belakang, eksistensi Hukum Adat telah menjadi pembahasan dalam pembentukan UUD 1945 saat sidang BPUPKI dan PPKI oleh Soepomo dan Muhammad Yamin, yang mengemukakan pendapat agar hukum adat mendapat pengakuan di dalam konstitusi yang akan dibentuk. Soepomo menyampaikan bahwa  hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. (Bahar, 2008). Demikian juga dengan Muhammad Yamin menyampaikan bahwa kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu (Taqwaddin, 2010).

Setidaknya, terdapat 27 ketentuan yang telah mengatur eksistensi masyarakat adat di Indonesia selain Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yakni: Pasal 4 Tap MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Keanekaragaman Hayati, Pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 6 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 9 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Pasal 67 ayat (1) UU. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 4 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka 33 UU No. 1 Tahun 2014 Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 1 angka 43 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 67 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, Pasal 1 angka 31 dan Pasal 63 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penjelasan Pasal 40 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Pasal 1 huruf p dan Pasal 1 huruf r UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Pasal 142 dan Pasal 149 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan Pasal 1 angka 1, Pasal 96, dan Pasal 97 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pengakuan Internasional

Secara global, masyarakat adat atau biasa disebut indigenous peoples telah mendapat pengakuan. Hal ini terlihat dari beberapa kesepakatan internasional atas eksistensi masyarakat adat, yakni Convention of International Labor Organisation Concerning Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi CariOca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo (1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chiang Mai (1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh United Nations World Conference on Human Rights (1993). Saat ini istilah indigenous people semakin resmi digunakan sejak lahirnya Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights of Indegenous People) pada tahun 2007.

Dinamika Legislasi

Sejak tahun 2007, usulan untuk membentuk undang-undang yang khusus memberikan perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional bagi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia pernah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Begitu juga tahun 2014 dan 2017. Namun nasib Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat belum mendapat kepastian hukum.

Di tahun 2018 yang lalu, RUU ini kembali masuk dalam Prolegnas prioritas DPR. Pada tanggal 9 Maret 2018, Presiden Joko Widodo pernah mengeluarkan Surat Perintah Presiden (Surpres) melalui Kementerian Sekretariat Negara No B-186 yang mengatur tentang pembentukan tim pemerintah yang akan membahas RUU Masyarakat Adat bersama DPR (Mongabay, 13/12/2019). Dan pada 14 Januari 2021 yang lalu, dikeketahui bahwa RUU ini tetap masuk dalam Prolegnas prioritas  yang ditetapkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam rapat kerja bersama Menkumham dan DPD RI (Jawapos, 23/3).

Problem Pendataan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline