Lihat ke Halaman Asli

Sahyul Pahmi

TERVERIFIKASI

Masih Belajar Menjadi Manusia

QRIS, Kampungku, dan Kenangan Uang Receh yang Kini Tinggal Kenangan

Diperbarui: 12 Mei 2025   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: Dokumentasi Pribadi Hasil Generate AI/chatgpt.com

Saya lahir di ujung paling utara Kabupaten Maros, tempat di mana sinyal kadang harus dicari pakai jurus berdiri di atas kursi bambu.

Waktu kecil, saya bisa dapat uang receh cuma dengan bantu angkat ember, antar daun pisang ke tetangga, atau nyanyi lagu 'Naik-Naik ke Puncak Gunung' pas ada tamu datang.

Hidup sederhana, tapi rejeki tak perlu scan barcode. Cukup dengan senyum, kadang dapat seratus perak. Lumayan, bisa beli kue bolu plastik di warung Hajji Andi.

Dulu Seratus Perak Cukup, Sekarang Butuh Sinyal dan Kamera

Receh itu dulu gampang didapatkan. Bahkan waktu jadi anak paling kecil di masjid, saya dapat bagian sisa kembalian infak. Tapi sekarang? Dompet orang kampung makin tipis, bukan karena miskin, tapi karena semua uangnya pindah ke layar HP.

Menurut Muchtar et al. (2024), QRIS memudahkan transaksi. Tapi bagi saya dan warga kampung yang sinyalnya harus naik ke pohon jambu, QRIS lebih cocok dijadikan nama anak muda: Qori'ah Rismayanti.

Di Maros, uang koin mulai hilang. Bahkan anak-anak yang biasa beli permen pakai koin kini harus 'scan'. Lucunya, banyak warung belum siap. Saya pernah lihat emak-emak di Pasar Camba gelagapan waktu ditanya, 'Ada QRIS?' Dia kira itu singkatan dari 'Qadarullah Riski Ilang Seketika.'

QRIS dan Masa Depan yang Tidak Bisa Dipalak

Dulu kalau ada acara nikahan di kampung, saya dan teman-teman bisa keliling bantu ambil piring, dapat amplop kecil berisi lima ratusan. Sekarang, pembayaran sistem 'saudara' digantikan oleh sistem 'scan di depan tenda'.

Menurut Prihatiningtias (2025), pengaruh sosial dan kemudahan jadi faktor adopsi QRIS. Tapi di kampung saya, pengaruh sosial itu namanya 'rasa nggak enakan'. Kalau belum bayar secara tunai, berasa belum dianggap hadir.

Anak-anak kampung kini tidak bisa lagi numpang rejeki dari tradisi. Mau jadi tukang parkir dadakan pun, kalau tak punya QRIS, mereka cuma dapat capek. 

QRIS memang membuat transaksi lebih praktis, tapi membuat interaksi jadi lebih mekanis. Kadang saya rindu, minta maaf dengan uang koin lima ratus. Sekarang, minta maaf saja harus kirim e-wallet.

Jangan Salahkan Orang Kampung kalau Lambat Digital

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline