Lihat ke Halaman Asli

Opa Jappy

Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan

TKW di Arab Saudi dan Peristiwa Tuti Tursilawati

Diperbarui: 11 Desember 2018   20:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alhm Tuti Tursilawati | Dokumentasi KH Marthin

Bekerja di luar negeri dengan menjadi buruh migran adalah merupakan sebuah pilihan hidup, selain masalah nasib, cita-cita, tekanan, impian, kebutuhan, panggilan, ikut-ikutan, peruntungan, maupun hanya sekadar coba-coba merupakan sejumlah alasan dan sebuah parameter dari kenyataan hidup yang pada akhirnya membawa seseorang untuk menjadi buruh migran.

Sebagaimana layaknya sebuah keputusan hidup, pastilah dihadapkan pada sebuah situasi masa depan yang menjanjikan kebahagiaan dan kegembiraan, seperti pada sisi mata uang yang sama, mengancam pula kondisi kegagalan yang membawa kesedihan dan kesengsaraan.

Memperoleh pendapatan tinggi dalam mata uang asing, berkeliling dunia mengunjungi Negara-negara maju, menggali pengalaman global yang mengeankan, meningkatkan pengetahuan praktis dalam berbagai industri, menjadi duta bangsa di Negara asing dan mengumpulkan modal untuk kelak membuka usaha sendiri guna berwiraswasta ketika kembali ke tanah air, merupakan beragam impian yang ingin diraih oleh seorang buruh migran.

Sementara mendapatkan perlakuan tidak layak dari majikan, dipermainkan berbagai oknum kesana kemari, terjebak dalam kondisi hidup segan mati pun tak mau, tersesat di negara asing dan dicap buronan pemerintah setempat karena tidak adanya ijin kerja formal, dizalimi secara jasmani maupun rohani oleh penjahat kemanusiaan dan diperlakukan selayaknya budak berlian, merupakan kenyataan hidup pahit yang tidak jarang dialami oleh para buruh migran.

Tentang Perbudakan

Sikon sosio-kultural-ekonomi masa lalu, khususnya pada bangsa-bangsa (termasuk suku-suku dan sub-suku) nomaden di Timur Tengah [termasuk di jazirah Arab], budak/hamba selalu berhubungan dengan fungsi dan tugas seseorang yang melayani tuan atau pemiliknya. Hampir semua lapisan masyarakat pada masa itu mempunyai budak; kecuali komunitas budak itu sendiri, karena budak tidak mempunyai budak.

Para budak adalah hamba sahaya yang menjadi budak karena dibeli atau keturunan karena orang menjadi budak karena orang tuanya adalah budak. Biasanya seseorang yang telah dibeli dan menjadi ebbedh atau hamba, maka ia kehilangan identitas dirinya.

Ia hanya menyapa dirinya atau disebut sesuai dengan nama tuannya; misalnya ebed Musa (jika tuannya bernama Musa) atau ebed Abraham (jika tuannya bernama Abraham), dan seterusnya. Sehingga pada diri para budak (termasuk pekerja rumah yang pada awalnya dibeli sebagai budak) muncul ketaatan dan loyalitas mutlak terhadap tuan mereka. Tugas mereka adalah melayani pemiliknya dalam segala sesuatu, termasuk mengorbankan nyawa demi hidup dan kehidupan tuannya.

Dalam kurun waktu yang cukup lama, sejak ribuan tahun sebelum Masehi sampai memasuki awal abad dua puluh, profesi sebagai budak, hamba, pelayan pekerja di rumah, relatif masih belum berubah; terutama pada suku-suku dan sub-suku pengembara yang kebetulan bukan Kristen di Timur Tengah.

Pada masa kini, sebagian besar masyarakat suku di Timur Tengah masih menganggap mereka sebagai komunitas kelas bawah yang lebih rendah derajatnya.

Karena, umumnya para majikan, merasa lebih tinggi derajat dari para pekerja, dan juga sudah membayar untuk mendapat sang pekerja, maka mereka bertindak seenaknnya terhadap 'yang sudah mereka bayar'. Dan perilaku negatif tersebut menimpa banyak pekerja dari Indonesia, Filipina, dan Pakistan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline