Lihat ke Halaman Asli

Fauji Yamin

TERVERIFIKASI

Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Anak Pasar, Meraup Rupiah dari Kantong Kresek

Diperbarui: 23 Februari 2021   05:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak penjual kue | kompas.com/wijaya kusuma

Kita pasti tidak asing dengan kehadiran sosok-sosok kecil berpenampilan lusuh menawarkan kantong kresek, atau menawarkan diri membawa barang belanjaan ketika sedang berbelanja di pasar tradisional. 

Atau, saat menyantap makanan di pusat kuliner maupun di pinggir jalan, kita dihampiri oleh anak-anak; dua bahkan lebih, bernyanyi, menjual tisu hingga mengemis.

Yap, mereka anak pasar. Istilah umum yang entah dari mana asalnya. Mereka terkadang dikaitkan dengan anak jalanan. Walau tidak semua berakhir di jalanan.

Anak pasar adalah fenomena menarik memenuhi kultur sosial di setiap pasar-pasar tradisional. Mengais rupiah lewat jasa. Berbaur dan memberi warna dalam mekanisme pasar yang transaksional.

Kehadiran mereka sering melahirkan rasa iba, namun tak jarang pula hadir pertanyaan. Siapa anak-anak ini? Di mana orang tua mereka, apakah mereka anak sekolah, siapa yang menyuruh mereka, hingga di mana mereka tidur. Kondisi yang menurut Adlun (2021) karena anak pasar selalu menerima sisi pandangan yang kontras dan stigma konservatif.

Anak-anak ini rata-rata berada di bawah umur angkatan kerja. Mereka melakukan berbagai pekerjaan seperti menawarkan kantong kresek, mengangkut barang, kuli panggul, mengasong, dan lain-lain.

Padahal, anak-anak ini harusnya berada pada fase tumbuh dan berkembang dibawah asuhan orang tua maupun keluarga. Menumbuhkan minat, kreatitas hingga kecerdasan.

UU sangat tegas melarang seorang anak yang belum dewasa untuk bekerja seperti UU nomor 13/2003, UU nomor 23 tahun 2002 yang intinya melarang anak-anak dibawah 18 tahun untuk bekerja. 

Namun di lapangan, banyak anak-anak justru terlibat dalam kerasnya kehidupan. Kerasnya kehidupanlah yanģ membuat mereka berada pada ruang yang berbeda.

Hal-hal seperti yang diatur dalam Kepres 59/2002 tentang tiga belas jenis terburuk pekerja anak, melekat erat pada anak-anak khususnya di Indonesia.

Beberapa poin yang saya soroti yakni mempekerjakan anak sebagai pemulung, tulung punggung keluarga hingga mempekerjakan anak-anak di jalanan justru tak asing terjadi selain dari poin lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline