Lihat ke Halaman Asli

Nurul Mahmudah

Generasi Sandwich Anak Kandung Patriarki

Merawat Kesadaran di Tengah Judgemental Society

Diperbarui: 8 April 2021   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Sebelum memulai tulisan ini, aku akan bilang bahwa hidup ini bukanlah suatu yang mudah. Banyak sekali hari yang berat dan melelahkan harus aku lewati setiap harinya, kalian juga pasti merasakannya.

Setiap orang berjuang dengan kehidupannya sendiri, tanpa terkecuali. Memasuki usia 20 tahun, sedikit demi sedikit beban akan mulai terasa, dan seiring bertambahnya usia, kita akan mengalami penyempitan makna kebahagiaan. 

Aku, di usia remaja, mendefinisikan bahagia dengan bebas bermain sepanjang waktu, berkumpul dengan teman-teman dan membeli semua yang kuinginkan dengan uang dari orangtua. 

Menginjak usia kepala 2, definisi bahagiaku adalah memiliki banyak uang dan bisa membeli semua yang kuinginkan. Namun, mendekati usia 25, aku merasa apa yang menjadikanku bahagia menjadi lebih sederhana. 

Terkadang hanya bisa makan mi instant setelah menyelesaikan seluruh pekerjaan akan terasa sangat nikmat, dan bisa menjadi definisi bahagia untukku. Atau hanya sekedar bisa menelpon rumah dan mendengar suara ibu menjelang tidur.

Definisi bahagiaku dimasa lalu adalah berada jauh dari rumah, tapi sekarang rumah menjadi tempat yang sangat dirindukan.

Akan terasa seperti omong kosong jika aku menyebut menjadi bahagia itu mudah, apalagi ditengah beban hidup yang terkadang mencuri seluruh tenaga kita. 

Melelapkan kita dalam rasa lelah yang berlebih, bekerja sepanjang waktu dengan pikiran penuh beban dan tak lagi memikirkan masa depan, cukup hanya terus bergerak dan yakin suatu saat akan sampai pada tujuan. Bahagia bukanlah sesuatu yang mudah atau sesuatu yang sulit. Bahagia bermakna sederhana.

Sulit bukan untuk bisa bertahan dengan semua ini? Terlebih kita yang harus hidup dalam realita "judgmental society".Ya, kita hidup dan bergerak dalam ruang dimana setiap orang bebas untuk berkomentar dan menghakimi atas hidup orang lain. Begitu banyak standart yang lahir sebagai produk invisible buatan manusia. Mulai dari standart kecantikan hingga standart kebahagiaan.

Dalam standart kecantikan, aku heran bagaimana manusia bisa menilai seseorang menjadi "jelek" sedangkan ia lahir sebagai bentuk hadiah dari Tuhan? Pernahkah kamu berpikir seperti ini. Bahwa yang menjadikanmu lemah, terlihat buruk, jelek, dan merasa tidak pantas hidup bukanlah Tuhan, melainkan mereka yang menyibukkan diri dengan usaha untuk mencuri perhatian darimu. 

Tidak ada satupun makhluk di dunia ini yang dilahirkan menjadi buruk atau jelek. Semua lahir dengan karunia Tuhan, dan tidak ada satu orangpun yang berhak untuk menentukan siapa dan bagaimana dirimu. You define yourself, begitu seharusnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline