Lihat ke Halaman Asli

Nursini Rais

TERVERIFIKASI

Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Pedagang Kemplang dan Persaingan Hidup yang Makin Ketat

Diperbarui: 27 Februari 2020   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Persaingan hidup semakin ketat, baik di kota maupun di desa. Untuk memenangkannya tidak cukup dengan bekal pendidikan saja. Lebih dari itu, setiap individu dituntut kreatif dalam mengekplorasi potensi diri.

Hanya pribadi berjiwa "petarung" yang bisa menang dalam kehidupan. Mereka yang terjebak dalam kemalasan akan tergilas oleh zaman. Ujung-ujungnya mengeluh dan mengeluh.

Kata "petarung" di sini bukan dalam arti saling sikut. Tetapi sebagai ungkapan fakta atas persaingan hidup yang semakin ketat. Berikut salah satu potret insan yang sedang bertarung dalam kehidupan, agar tetap bernafas di hari esok.

AA dan AD, anak lanang 16-20 tahun. Mereka berasal dari salah satu Kabupeten di daerah Sumatera Selatan, yang dibawa oleh pengusaha kerupuk kemplang ke Kota Sungai Penuh (16 kilometer dari desa saya).

Di kota ini mereka dan 13 rekannya tinggal di kontrakan yang dibayar oleh bosnya. Untuk makan, beli nasi masing-masing.

Setiap hari mereka menyebar ke luar kota untuk menjajakan kerupuk kemplang. Jaraknya puluhan kilometer dari tempatnya menginap. Bahkan mencapai 30-an kilometer. Kebetulan AA dan AD ini trayeknya jalan di depan rumah saya. Saya salah satu pelanggannya.

Penjual kamplang meneriaki dagangannya. Dokumentasi pribadi.

Setiap orang membawa 1 pak kerupuk yang memuat 220 kemasan kecil, sambil meneriaki "Kerupuk .... Kerupuk ...." di sepanjang jalan. 

Kedua cowok hitam manis ini mengaku, kalau dagangannya terjual habis mereka memperoleh untung Rp 75-100 ribu. Sering juga bersisa karena gangguan cuaca, paling dapat 30 atau 50 ribuan. Dengan penghasilan sebanyak itu, mereka bisa mengirimi uang ala kadarnya kepada orangtua.

Ketika ditanya apakah mereka diantar ojek atau mobil ke titik-titik tertentu, AA menjawab, "Gak kok, Bu. Mahal. Ke sini Rp 30 ribu," katanya menunjuk ke tanah yang sedang dia pijak.

"Seringnya naik motor lewat. Berhenti di satu desa terus jualan dulu. Kalau mau ke lain desa, minta numpang lagi sama motor lain. Begitu seterusnya. Orang sini baik-baik. Rata-rata mereka tak pernah menolak," katanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline