Lihat ke Halaman Asli

Nur Janah Alsharafi

Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

Daffodil, Tsunami di Pantai Anyer

Diperbarui: 24 Oktober 2020   00:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image from :  https://www.almanac.com/plant/daffodils

Memimpikanmu adalah sebuah kelancangan yang luar biasa. Aku bahkan tak pernah membayangkan akan bertemu langsung dalam sebuah ruang yang sangat leluasa seperti itu. Biasanya aku hanya membaca diam-diam setiap tulisanmu. Bahasa yang kau tuliskan, adalah sebuah bahasa langit yang membuatku selalu merasa bodoh. 

Aku membutuhkan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk bisa melumat dan mencerna bagian demi bagian huruf huruf yang kau tata indah dalam kalimat kalimat langit yang apik. Bahasan yang sangat biasa di tanganmu menjadi luar biasa. Sungguh keringatku mengucur, rambutku jadi keriting, otakku makin pening untuk dapat berselancar dalam tulisan tulisan dahsyatmu. Kau memang penulis idolaku.

Pertemuan pertama benar-benar tanpa sengaja. Aku berdiri di depan menjadi sosok yang wibawa ketika itu. Dengan gagahnya aku sampaikan kalimat-kalimat untuk seisi ruangan termasuk dirimu. Aku tak tahu jika kamu ada di ruang besar itu. Kemudian aku berjalan dari meja ke meja, dari kursi ke kursi dan jalanku tiba-tiba terhenti sejenak oleh sapaanmu.

"Apa kabar Daffodil ?"

Aku terhenyak dengan sapaan akrab itu. Seingatku kita tak pernah bertemu sekalipun, dan kita tak pernah berkenalan langsung. Mungkin kau mengenal namaku dari media yang sering sibuk meliput kegiatanku. 

Kegiatan seorang ketua Senat Mahasiswa sebuah Universitas beken di kota ini. Tapi kamu, kamu adalah penulis hebat. Penulis level nasional yang entah karena cinta kampung halaman atau alasan lainnya, kau bersedia hadir kembali di perhelatan lokal ini.

Sapaamu membuat sekujur tubuhku panas dingin, terus terang aku malu dengan diriku sendiri. Apa alasannya aku salah tingkah dengan sapaan itu. Bukankah sapaan itu adalah sebuah basa basi biasa dan lumrah diucapkan oleh siapa saja. Meski kemudian aku mengkaji hal remeh yang sebenarnya tak perlu kukaji. Dari limapuluh orang yang hadir, mengapa hanya dia yang menyapaku akrab dengan menyebut namaku. Ge er kamu Daffodil, jawab jiwaku yang lain.

Tahukah kamu, aku mengenalmu sejak di semester I . Tulisan-tulisanmu senantiasa menjadi menu pertama yang kulahap jika ia hadir di media masa. Kekagumanku padamu adalah kekaguman tanpa syarat. Benar benar murni meluncur polosnya hati seorang gadis bernama Daffodil . Kekaguman itu diam diam bertambah bumbu. 

Bumbu bumbu rajutan kegelisahan hati yang tak jelas ujung pangkalnya. Bodohnya Daffodil, begitu pastinya jika aku beranikan cerita pada teman-temanku. Namun bertahun aku berhasil membungkus kebodohan itu menjadi sepiring semangat untuk mengasah diri dan belajar kapan aku bisa seperrti dirinya.

Aku memang bukan dirinya. Jika ia adalah seorang penulis matang yang hebat, laki-laki mapan dan asa sebuah generasi yang telah teraktualisasi secara nyata. Namun aku, Dafodil gadis kampung biasa yang karena rejeki dan sedikit kemampuannya akhirnya menjadi ketua Senat Mahasiswa sebuah Universitas ternama di suatu kota.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline