Lihat ke Halaman Asli

Nugroho Endepe

Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.

Ibu Sepuh Tepi Merapi dan Kisah Perebus Batu

Diperbarui: 17 April 2021   09:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mbah Kasinem (Foto: Dwikoen)

Seorang ibu sepuh yang terseok. Membawa tas dengan punggung penuh barang. Dini hari dia melangkah. Berharap barang dagangan berupa nasi bungkus akan laku dibeli para sopir truk pembawa pasir gunung Merapi. Pernahkah kita membayangkan bahwa pada tahun 2021 bulan April ini, era digital dan gadget yang serba online, masih ada orang sepuh yang berjuang untuk bertahan hidup mandiri di tengah keterbatasan?

Ini cerita dari sahabat saya, Pakdhe Dwikoen yang seorang fotografer dengan kawasan hunting di lereng Merapi. 

"Riyin wektu anak kulo tesih urip kulo saged damel 50 bungkus mergo diewangi anak kulo. Anak kulo mati mergo sakit. Bar bada sesuk niku sewu dintene anak kulo"

Mbah Kasinem janda 2 anak. Dia sekarang hidup sendirian krn satu anaknya yang masih hidup tinggal jauh darinya.

Menurut critanya suaminya dulu juga penambang pasir. Suaminya sudah lama meninggal saat kedua anaknya masih kecil. Untuk menyambung hidup mbah Kasinem kerja serabutan saat itu. Saat ada penambangan pasir dia lalu mulai jualan makanan di tambang.

Sambil melayani pembeli mbah Kasinem melanjutkan cerita;

"Kulo nate meh 3 tahun mboten dodolan sego wungkus amargi tambang pasir mriki ditutup kalih pulisi. Bedheng-bedheng sing dingge tilem diobong sedaya kalih warga. Riyin sing do nambang teng mriki tiyang tebih sedaya. Kulo angsal crita saking tangga teparo tambang mriki ditutup soale mboten gadhah ijin. Bedheng-bedheng diobong kabeh soale nek dalu do dinggo main, mendem kalih madon. Wektu ditutup dangu kulo nggih terus nyambut damel sak angsale. Mburuh teng kebon salak kalih mecahi banthak teng lepen. Pokoke angsal dit ngge tumbas beras. Sakniki kulo nek sadean sego wungkus mboten kathah soale kulo sakniki ijen. Pun mboten kiyat tenagane"

Kalau dibandingkan dengan generasi muda sekarang, kira-kira Ibu sepuh ini lebih berjuang atau bagaimana? Sebagian anak muda, sering banyak mengeluh tentang hidup ini. Bahkan anak tua kayak saya juga, ya kadang masih suka mengeluh. Padahal banyak di sekitar kita para pejuang yang bahkan mereka hanya bertahan hidup.

Apakah kita tidak malu kepada beliau-beliau ini? 

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline