Lihat ke Halaman Asli

Duan Lolat: Sebuah Kearifan Lokal

Diperbarui: 26 November 2015   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Laki-laki Tanimbar

(Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbambon/2014/06/04/etnografi-orang-tanimbar)

 

Duan Lolat: Sebuah Kearifan Lokal

Oleh: Nikolaus Powell Reressy

 

Pengantar

Dalam kehidupan masyarakat Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, telah sejak lama terpelihara sebuah nilai kekerabatan yang disebut sebagai duan lolat. Drabbe (1928 dan 1989), Bohm (1995), Koritelu (2009), Pangemanan dan Bohm (2011), de Jonge dan van Dijk (2011), Lerebulan (2011), dan Wuritimur (2012) adalah sekelompok orang yang telah meneliti dan menulis nilai duan lolat. Dalam tulisan-tulisan tersebut diterangkan bahwa secara harfiah, kata duan berarti tuan atau pemilik suatu barang. Tuan atau pemilik ini berfungsi sebagai pelindung terhadap barang itu. Sementara itu kata lolat berarti penerima suatu barang. Pelembagaan nilai duan lolat terjadi pada proses perkawinan adat, dimana duan merupakan predikat yang diberikan kepada kelompok keluarga yang bertindak sebagai pemberi perempuan, sedangkan lolat adalah predikat bagi kelompok keluarga yang bertindak sebagai penerima perempuan.

         Hubungan kekerabatan duan lolat di atas tersimbol dalam berbagai bentuk barang pemberian, baik dari pihak duan maupun dari pihak lolat, yang berlangsung secara makanik dalam setiap peristiwa kehidupan masyarakat Tanimbar. Peristiwa-peristiwa dimaksud berlangsung di sepanjang kehidupan manusia, mulai dari kelahiran, perkawinan, pembangunan rumah, sampai pada kematian. Pihak duan biasanya berkewajiban untuk memberikan pakaian dan perlengkapannya, termasuk juga bahan makanan berupa beras dan umbi-umbian, kepada pihak lolat. Sementara itu, pihak lolat berkewajiban untuk memberikan lauk-pauk seperti daging dan minuman sopi (tuak khas Tanimbar) kepada pihak duan.

         Barang yang diberikan, entah oleh pihak duan maupun lolat, juga bisa dalam bentuk benda-benda adat seperti kain tenun, perhiasan adat, gading gajah, dll, yang disesuaikan dengan peristiwa kehidupan yang sementara dihadapi.[1] Seiring perkembangan waktu, bentuk barang pemberian pun mengalami beragam variasi. Karena semakin langkanya benda-benda adat yang ada di masyarakat bila dibandingkan dengan semakin banyaknya peristiwa adat yang berlangsung, serta dengan berubahnya selera dan gaya hidup masyarakat, saat ini tidak jarang barang pemberian dimaksud dikonversi dalam bentuk barang hasil industri—misalnya kain tenun diganti dengan kemeja, atau sopi diganti dengan bir atau minuman beralkohol lainnya. Tidak hanya itu, dalam banyak kasus, barang pemberian pun telah dikonversi dalam bentuk uang yang pagunya sangat beragam dan dari waktu ke waktu cenderung mengalami peningkatan.

         Dalam studi ilmu sosial, para sosiolog menyebut hubungan kekerabatan seperti ini sebagai hubungan kekerabatan yang dimotori oleh solidaritas mekanik, dimana suatu komunitas akan bergerak secara mekanik untuk memberikan bantuan manakala ada peristiwa tertentu—baik peristiwa suka maupun peristiwa duka—yang menimpa salah satu anggota komunitasnya. Tὅnnies (di dalam Weber, 1949; Tὅnnies, 1963; dan Sztompka, 2011) menyebut masyarakat seperti ini sebagai masyarakat gemeinschaft yang banyak dijumpai pada negara-negara agraris dan pada negara-negara yang sedang berada dalam tahap transisi dari agraris menuju industrialisasi. Masyarakat gemeinschaft akan selalu berusaha secara mandiri untuk memecahkan setiap persoalan hidup yang mereka hadapi. Proses pemecahan masalah akan berlangsung secara kekerabatan atau secara paguyuban dengan berorientasi pada nilai-nilai ikatan keluarga, adat istiadat, dan agama yang hidup di dalam lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, masyarakat gemeinschaft mengusung falsafah hidup gotong royong sebagai arus utama dalam kehidupan sosialnya. Tὅnnies menambahkan bahwa seiring arus modernisasi, masyarakat gemeinschaft akan berubah wajah menjadi masyarakat gesellschaft yang mengandalkan institusi negara dalam memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Proses pemecahan masalah akan berlangsung secara patembayan dengan mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas dan nilai-nilai hukum positif yang berlaku. Masyarakat jenis ini banyak dijumpai pada negara-negara industri maju dan sebagian pada negara-negara transisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline