Kisah ini bermula sejak masa kedatangan Jepang ke Indonesia pada tahun 1942. Seperti kita ketahui, tatkala Jepang menguasai Indonesia, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer kala itu tentu lebih memprioritaskan kepentingan perang. Khususnya kepada kepentingan militer Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Tidak ada toloransi bagi perkembangan politik atau organisasi yang sempat terbangun pada masa kolonial Belanda. Semua harus sesuai dengan kebijakan politik Jepang yang otoriter dan militeristik. Bagi siapapun yang berani melanggar, maka ia akan dihadapkan dengan hukuman yang setara dengan kejahatan perang.
Baik dalam kebijakan politik, sosial, budaya, ataupun ekonomi, semua diatur dan diawasi secara ketat oleh Kempetai (polisi rahasia Jepang) kala itu. Bahkan para tokoh Republik hampir semuanya ditangkapi, walau diantara mereka yang memiliki kharisma tinggi, akan diajak bekerjasama.
Seperti halnya Bung Karno, Bung Hatta, K.H. Mas Mansyur, Ki Hajar Dewantara, dan bahkan Susuhunan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Medio 1942-1943 adalah masa-masa paling berat yang dialami rakyat Indonesia. Hasil bumi semua diserahkan kepada Jepang. Tinggal sisa rakyat yang makan seadanya dengan pakaian pun terbuat dari karung goni. Belum lagi kebijakan kerja paksa.
Sultan Hamengkubuwono IX yang kala itu menjabat sebagai Raja Jogjakarta, melihat kerja paksa sudah tidak mungkin lagi dijalankan.
Kiranya demikian kisahnya mengenai siasat jitu Sultan dalam menghadapi kebijakan Jepang ini...
Telah disinggung di awal, bahwa kedatangan Jepang faktanya memberikan dampak yang begitu buruk bagi rakyat Indonesia, puncaknya di tahun 1943. Kebijakan yang paling menyengsarakan kala itu adalah Romusha. Dimana rakyat Indonesia dipaksa menjadi pekerja kasar untuk membangun berbagai fasilitas perang Jepang.
Baik dalam kepentingan militer ataupun pemerintahan. Tetapi yang paling fatal adalah pengiriman para Romusha tersebut ke wilayah luar Indonesia, seperti di Burma atau Malaya. Banyak diantara mereka yang tidak kembali, karena meninggal dunia ataupun terlantar pasca Perang Dunia II berakhir.
Pun di Jogjakarta, walaupun Jepang telah memilih bekerjasama dengan Susuhunan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, faktanya hal itu hanya sebatas kamuflase agar rakyat Jogjakarta tidak melawan. Tujuannya tentu saja terus memberi dukungan kepada Jepang, karena Sri Sultan sebagai Raja telah dianggap mau bekerjasama.