Bukber, alias buka bersama, seharusnya jadi momen seru untuk kumpul bersama teman lama, nostalgia, dan menikmati suasana Ramadan.
Idealnya, bukber itu ajang silaturahmi yang membuat orang senang, bukan malah jadi beban atau ajang pamer pencapaian.
Tapi kenyataannya, makin ke sini banyak rencana bukber yang batal atau kurang diminati.
Grup alumni ramai-ramai bahas kapan dan di mana bukber, tapi ujung-ujungnya hanya wacana semata.
Yang daftar banyak, yang datang hanya segelintir. Kenapa bisa begitu? Ada banyak alasan, mulai dari kesibukan, lokasi yang jauh, sampai alasan yang lebih personal seperti tidak nyaman bertemu orang tertentu atau merasa tidak ada lagi yang bisa dibahas.
Di usia dewasa, banyak yang mulai merasa bahwa bukber bukan lagi sekedar makan bareng, tapi juga bisa jadi ajang perbandingan hidup.
Dulu sama-sama di kelas, sekarang ada yang kariernya sukses, ada yang masih berjuang, ada yang sudah menikah, ada yang sudah punya momongan dan ada juga yang masih single.
Pertemuan yang harusnya membuat bahagia malah membuat beberapa orang minder atau tertekan. Ada juga yang dulu punya kenangan kurang menyenangkan, seperti pernah dibully atau diabaikan di masa sekolah.
Jadi wajar kalau ada yang lebih memilih tidak datang daripada harus menghadapi situasi yang membuat tidak nyaman.
Pertanyaannya, apakah bukber masih jadi ajang silaturahmi yang menyenangkan atau malah berubah jadi beban sosial?