Lihat ke Halaman Asli

Ni Made Sri Andani

Marketing Consultant dengan 34 tahun pengalaman lintas Industri

"Keras Kepalaku" Karya Sigit Purnomo. Tidak Menyindir, Tapi Mengaku Salah

Diperbarui: 21 Mei 2025   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sigit Purnomo di depan karyanya "Kepala Kerasku" di pameran seni rupa kontemporer "Beyond Imagination" di JDC (Sumber: Sigit Purnomo)

Ada banyak karya seni yang pernah saya lihat, yang tajam menyindir dan mengkritik, terutama pada tokoh publik, sistem sosial, atau fenomena politik. Jenis lukisan seperti ini semakin banyak. Tetapi, di pameran seni rupa kontemporer "Beyond Imagination" ada lukisan berjudul "Keras Kepalaku" karya Sigit Purnomo, pelukis yang berdomisili di Madura,  hadir dengan kejutan. Ia bukan sedang menyinyiri orang lain, tapi justru sedang menguliti dirinya sendiri.

Sekilas, lukisan ini tampak seperti karya satir yang biasa kita temui. Dua figur berseragam guru terlihat saling berargumen sengit. Kepala mereka bukan kepala manusia, melainkan batu besar berwarna gelap, yang terkesan keras, berat, dan penuh beban.

Lalu ada dua telinga yang melayang bebas tanpa pemiliknya, menambah kesan "Tak ada yang mau mendengar."  

Latar kota yang gersang, penggunaan warna-warna kelam, dan komposisi yang terasa sesak membuat suasana lukisan ini begitu muram. Hanya sedikit warna cerah yang muncul, seperti harapan yang tersembunyi jauh di balik keangkuhan.

Awalnya, saya kira ini adalah "another lukisan nyinyir". Yakni sindiran keras pada orang lain yang keras kepala dan tak mau mendengar. Tapi saya keliru. Dan keliru saya bukan di permukaan, tapi di akar. Ternyata ini adalah lukisan tentang dirinya sendiri. Tentang si pelukis. Tentang kejujuran.

"Keras Kepalaku" karya Sigit Purnomo. (Sumber: Sigit Purnomo)

Ini baru saya sadari ketika melihat judulnya dan sedikit mengorek-ngorek pelukisnya.

Sangat sedikit orang yang berani melakukan introspeksi diri, apalagi mengakui kelemahannya di depan umum. Sigit Purnomo bukan hanya berani mengakui bahwa ia pernah atau masih keras kepala, ia bahkan mengabadikannya dalam sebuah karya seni yang bisa dilihat siapa pun. Ini semacam pengakuan publik yang puitis, dalam bentuk visual. Sebuah keberanian yang langka.

Introspeksi diri seperti ini adalah buah dari kedewasaan emosional. Ia tak sibuk menunjuk kesalahan ke luar, tapi justru melihat ke dalam. Dan dalam dunia seni rupa, menurut saya ini adalah napas yang menyegarkan. Karena seni introspektif seperti ini biasanya lebih dalam, lebih jujur, dan menyentuh hati penontonnya secara personal.

Orang yang mampu mengintrospeksi dirinya, biasanya mampu tumbuh lebih baik karena ia sadar akan kekurangannya. Tidak mudah menyalahkan, tapi juga tidak larut dalam rasa bersalah. Punya ruang untuk refleksi, yang memperkaya pikirannya dan karyanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline