Lihat ke Halaman Asli

Nikodemus Yudho Sulistyo

Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Tragedi Kanjuruhan: Cerminan Pola Pikir Bangsa?

Diperbarui: 4 Oktober 2022   10:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: promediateknologi.com

Internet meledak dengan pemberitaan mengenai tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 123 jiwa, termasuk dua orang anggota kepolisian, dan 323 orang terluka (update 3 Oktober, 2022. Sumber). 

Pertandingan sepakbola antara Persebaya Surabaya versus Arema FC Malang pada pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur hari Sabtu tanggal 1 Oktober 2022 itu berakhir dengan sebuah kerusuhan. Media online, elektronik dan cetak tidak putus-putusnya memberitakan kisah memilukan sekaligus memalukan yang terjadi di ranah olahraga dan mencoreng nama citra sepakbola Indonesia kembali.

Di tulisan saya kali ini, saya lebih akan mencoba melihat sisi berbeda dari kejadian nahas, tragedi kemanusiaan tersebut. Tanpa mengurangi rasa bela sungkawa, sedih dan prihatin, saya melihat ada semacam cerminan pola pikir bangsa yang muncul ke permukaan di sela-sela keriuhan berita.

Sebelum memulai lebih jauh, rasa-rasanya perlu menjelaskan dahulu sebentar apa yang dimaksud dengan bangsa. Ini karena kata bangsa akan terus digunakan berulang-ulang dalam artikel ini. 

Pada dasarnya, yang dimaksud dengan bangsa adalah kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa serta sejarahnya, dan memiliki pemerintahan sendiri. 

Selain itu, sebuah bangsa juga berisi dari sekumpulan orang yang memiliki kesamaan sifat dan karakter karena persamaan nasib serta sejarah di masa lampau (Sumber). 

Dalam hal ini, bangsa Indonesia terdiri dari orang-orang dan warga masyarakat yang memiliki persamaan pola pikir karena percaya dengan nilai-nilai tertentu yang membentuk mereka di dalam sebuah negara. Berarti, menyebut bangsa Indonesia berarti termasuk pemerintah dan aparaturnya, badan-badan hukum lainnya, serta termasuk masyarakat di dalamnya.

Perdebatan dan argumen yang berseliweran di dunia maya berpusat pada mencari tahu siapa yang salah dan menjadi akar permasalahan insiden tersebut. Penggunaan kekerasan yang berlebihan, termasuk gas air mata, dari aparat kepolisian dituding menjadi pemicu meninggalnya banyak penonton yang berdesak-desakan ingin keluar dari tribun sedangkan pintu stadion juga tertutup. 

Ada yang berpendapat bahwa semua tidak akan terjadi bila para suporter sepakbola, terutama Aremania, tidak turun ke lapangan untuk memprotes hasil pertandinggan, mengejar para pemain Persebaya, dan meluapkan kekesalan mereka.

Perdebatan ini terus-menerus terjadi, berputar bagai lingkaran setan. Polisi dianggap melanggar hukum dan aturan yang diberikan oleh FIFA karena menggunakan gas air mata serta Hak Asasi Manusia karena bekerja tidak profesional dan sesuai SOP Kepolisian. Di sisi lain, suporter juga dianggap melanggar aturan FIFA karena masuk ke dalam lapangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline