Lihat ke Halaman Asli

Niken Ayu Woro Hapsari

Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Pasundan

Wajah Politik Luar Negeri RI: Kritik dan Relevansinya di Abad Ke-21

Diperbarui: 31 Desember 2021   14:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Deretan Presiden RI. Credit by: Niken Ayu Woro Hapsari

                                                                                 

Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menganut prinsip politik luar negeri (PLN RI) bebas-aktif. Namun seiring dengan dinamika global, PLN RI mengalami perkembangan yang signifikan. Secara operasionalnya PLN RI memiliki karakteristik yang berbeda-beda dibawah  rezim yang berkuasa. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan situasi internal maupun internasional. Pasca berakhirnya Perang Dingin, eksistensi PLN RI kerap menjadi pertanyaan besar di kalangan akademisi. Apakah praktiknya masih relevan atau tidak, mengingat panggung internasional telah mengalami metamorfosis.

Rekam Jejak Wajah PLN RI

Pada Era Orde Lama, PLN RI menunjukkan gaya konfrontatif yang dekat dengan negara-negara komunis. Hal ini dilatarbelakangi oleh Orientasi kepentingan nasional Indonesia terhadap pertahanan dan keamanan akibat situasi domestik yang baru merdeka. Sehingga tujuan utamanya adalah mencari pengakuan internasional atas kedaulatan wilayah. Sedangkan di era Orde Baru, orientasi kebijakan PLN RI lebih condong ke "Barat" sebagai upaya pemulihan ekonomi dan reorientasi posisi Indonesia di ASEAN. Di Era Orde Baru Indonesia diwarisi pekerjaan yang tidak mudah bagi pemerintahan berikutnya. Lemahnya kepercayaan internasional akibat korupsi membawa dampak terhadap sulitnya mencari bantuan internasional dan minimnya modal di dalam negeri- menjadi kendala terhadap pemulihan ekonomi nasional. Dibawah pemerintahan Presiden Habibie Indonesia mendapatkan kembali kepercayaan internasional, terutama dari IMF dan World Bank, yang membantu melakukan pencairan dana untuk mengatasi krisis ekonomi.

Di bawah rezim selanjutnya, Abdurrahman Wahid, pemulihan ekonomi masih menjadi agenda utama. Beliau melakukan kunjungan ke berbagai negara ASEAN, Amerika Serikat, dan Jepang. Selain itu, Presiden Wahid juga melakukan upaya dengan memberikan usulan pembukaan hubungan dagang dengan Israel dengan maksud menarik investor asing serta strategi untuk memperkuat lobi Yahudi-Amerika. Namun menurut penulis, orientasi PLN RI di masa tersebut menujukan kedilemaan. Di satu sisi, upaya Presiden Wahid menyambangi negara-negara barat untuk mendorong investasi, namun di sisi lain juga berupaya untuk membendung pengaruh barat melalui usulannya, dengan membentuk Forum Pasifik Barat. Penguatan lobi dengan Amerika Serikat juga ditunjukan di masa pemerintahan Presiden Megawati yang memberi simpati pasca peristiwa peledakan gedung WTC. Namun tindakan ini secara tidak langsung mendukung stigmatisasi terorisme dengan Islam. Hal ini juga menunjukkan sikap dan posisi yang dilema dalam melawan terorisme.

Di bawah rezim SBY, PLN RI mulai menemukan wajah baru yang mana konsepsinya tidak lagi berpijak pada "mendayung diantara dua karang" seperti di masa perang dingin. Hal ini, disampaikan Presiden SBY dalam pidatonya yang menyatakan bahwa, Indonesia di abad ke-21 ini tengah berhadapan dengan situasi yang kompleks. Artinya, pasca berakhirnya peristiwa perang dingin, panggung internasional telah memasuki era multipolar yang menggiring Indonesia untuk beradaptasi dengan "banyaknya karang" yang tengah bergejolak. Narasi tersebut, dicetuskan melalui slogan "Thousand Friend, Zero Enemy".  Melalui slogan tersebut, menggiring kembali citra baik nasional kearah yang outward looking. Karena dulu Indonesia bersikap inward looking, yang mana cendurung menutup diri dari permasalahan internasional akibat terlalu fokus pada urusan domestik.

Dewasa ini, Indonesia dihadapkan pada tiga permasalahan pokok yaitu, merosotnya kewibawaan negara, melemahnya perekonomian, intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Oleh karena itu, dibawah pemerintahan Presiden Jokowi, terdapat empat agenda strategis dalam PLN RI, yaitu kedaulatan, perlindungan WNI, ekonomi, serta kontribusi dan kepemimpinan Indonesia di kawasan dan dunia. Menurut pernyataan Menlu Retno, Indonesia perlu menekankan kerja sama maritim untuk mendorong terwujudnya konektivitas maritim dan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim. Untuk mewujudkan narasi tersebut, Indonesia semakin membuka diri terhadap investor-investor asing yang masuk. Salah satu contohnya adalah melalui pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang merupakan komitmen B2B antara BUMN Indonesia dengan perusahaan multinasional China.

Dalam bingkai neoliberalisme, proyek tersebut diharapkan dapat menumbuhkan ekonomi baru, serta pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dalam buku "In the Ruins of Neoliberalism" yang ditulis oleh Wendy Brown, menjelaskan bahwa neoliberalisme dimaknai sebagai proyeksi kaum kapital yang  berorientasi untuk meruntuhkan hambatan kapital, menaklukan tuntutan redistribusi modal yang adil, serta meruntuhkan kekuatan dan harapan kelas pekerja di negara maju maupun berkembang. Terlihat dengan jelas bahwa nafas neoliberalisme masuk kedalam sendi proyek kereta api cepat tersebut. Mengapa demikian, sebab dalam skemanya investasi yang dilakukan China diberikan melalui China Development Bank (CBD) dengan pembiayaan hutang , kemudian terciptanya ruang ekonomi yang justru eksklusif sehingga mengakibatkan privatisasi lahan dan marjinalisasi warga di sekitar proyek. Selain itu membengkaknya biaya proyek tersebut, juga menjadi polemik yang kerap disorot. Integrasi perekonomian global yang semakin bebas seperti kasus diatas, cenderung menjadikan Indonesia terperangkap pada jerat neoliberalisme, terlebih jika pemerintah tidak mengambil lamgkah hati-hati, yang justru dapat membawa mimpi buruk bagi perekonomian nasional.

Relevansi PLN RI di Abad ke-21

Terlepas dari permasalahan tersebut, eksistensi PLN RI dipertanyaakan relevansinya di abad ke-21 ini. Meskipun panggung internasional telah mengalami metamorfosis, ternyata kacamata politik bebas-aktif masih dianggap relevan untuk melihat situasi saat ini. Politik bebas-aktif yang dipegang oleh Indonesia telah menemukan wajah barunya, seperti yang telah dinarasikan oleh Presdien SBY, bahwa kontemporer situasi global telah memasuki fase multipolar. Maka dari itu ditengah kompleksnya situasi global, Indonesia terus merefleksikan dirinya untuk aktif bekerja sama dan terlibat dalam percaturan internasional yang didasari oleh nilai-nilai yang termaktub dalam UUD 1945. Dimensi itulah yang menjadi simbol bahwa politik bebas aktif Indonesia menjadi refleksi atas cita-cita ideal tatanan global di masa depan. Mulai dari kemerdekaan, hingga perdamaian dunia. Prinsip bebas-aktif yang melekat pada politik luar negeri Indonesia akan terus eksis ditengah situasi global yang anarkis dan menjadi dasar serta solusi atas persoalan-persoalan yang terjadi, baik persoalan internal maupun internasional.

Referensi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline