Hidup tampak berjalan dengan baik: bangun setiap pagi pada waktu yang sama, menjalankan aktivitas kerja seperti biasa, berinteraksi dengan teman-teman, menyelesaikan tugas, lalu pulang untuk beristirahat dan mengulangi siklus yang sama keesokan harinya.
Dari luar, segalanya terlihat stabil, bahkan mungkin ideal bagi sebagian orang yang mendambakan keteraturan hidup.
Namun dibalik rutinitas harian yang terstruktur itu, ada satu hal yang terus menghantui: perasaan hampa yang sulit dijelaskan. Tidak ada peristiwa besar yang membuatku sedih, tidak pula ada konflik besar yang mengganggu hidupku---semuanya seolah berjalan normal.
Tapi mengapa merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting?
Hari-hari berlalu seperti lembaran kosong, cepat, tanpa bekas, tanpa gairah. Aku menyadari bahwa aku telah menjadi bagian dari kehidupan yang otomatis, di mana setiap tindakan dijalankan bukan karena keinginan, melainkan karena kebiasaan. Aku mulai bertanya:
apa sebenarnya tujuan dari semua ini?
Untuk apa aku bangun pagi, bekerja, dan kembali tidur jika tidak ada semangat yang menghidupkan proses itu?
Rasa hampa ini bukan sekadar bosan; ia adalah alarm batin bahwa ada yang keliru dalam cara aku menjalani hidup. Mungkin masalahnya terletak pada kurangnya refleksi diri, hilangnya makna, atau bahkan karena aku terlalu lama mengabaikan suara hatiku sendiri.
Aku menjalani hari demi hari seperti mesin, tanpa sempat berhenti untuk bertanya apakah jalan ini masih selaras dengan panggilan jiwaku.
Ketika rutinitas tidak dibarengi dengan makna, maka aktivitas yang tadinya produktif bisa berubah menjadi beban emosional. Aku mulai menyadari bahwa hidup butuh arah, bukan sekadar struktur.