Lihat ke Halaman Asli

Sekilas Lahirnya Kurtilas

Diperbarui: 16 November 2018   10:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ada ungkapan bernada ironis setiap terjadi perubahan kurikulum, yakni sebuah pertanyaan retoris, "Binatang apalagi ini?" Kemudian akan dilanjutnya dengan perkataan penuh pesimis, "Kurikulum yang lama saja belum kami laksanakan dengan sempurna, sudah muncul kurikulum baru." 

Sudah bisa dipastikan, ucapan tersebut akan diiringi dengan sikap negatif, yakni tidak bersemangat mempelajari kurikulum yang baru." Ujung-ujungnya, seperti syair lagu Dian Piesesha, yang berjudul Tak Ingin Sendiri, ada bagian syair yang menyatakan, "aku masih seperti yang dulu." Artinya, meskipun kurikulum bagaikan pergantian musim, dia tetap dalam mindset dan perilaku yang sama.

Sebenarnya kelahiran kurikulum baru tidaklah ujug-ujug, kemarin terlintas dipikiran Pak Mentri dan para staf ahlinya, besok kurikulum diganti. 

Kelahiran kurikulum baru diawali dengan kajian yang  cukup mendalam, dengan berbagai pertimbangan, karena mereka sadar betul bahwa perubahan kurikulum akan membutuhkan dana yang besar untuk penyusunan dan sosialisasinya, belum lagi menghadapi berbagai kritikan, yang bisa jadi mementahkan kembali kurikulum baru yang sudah dilaunching dalam piloting project.

Sebelum diterbitkannya kebijakan lahirnya Kurikulum 2013, Pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud telah melakukan serangkaian kegiatan yang cukup panjang, saat menyadari, ketertinggalan pendidikan kita dibandingkan dengan negara-negara maju. 

Setidaknya, dari Survai Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada Tahun 2003 menempatkan Indonesia pada peringkat 34 dari 45 Negara. Walaupun rerata skor naik menjadi 411 dibandingkan 403 pada Tahun 1999, kenaikan tersebut secara statistik tidak signifikan, dan skor itu masih di bawah ratarata untuk wilayah ASEAN. 

Prestasi SISWA bahkan relatif lebih buruk berdasarkan hasil Program for International Student Assessment (PISA), yang mengukur kemampuan anak usia 15 tahun dalam membaca, matematika, dan literasi ilmu pengetahuan. Program yang diukur setiap tiga tahun, pada Tahun 2003 menempatkan Indonesia pada peringkat 2 terendah dari 40 negara sampel, yaitu hanya satu peringkat lebih tinggi dari Tunisia.

Pada awal masa kepemimpinannya, Tahun 2004, Presiden Susilo Bambang Yudoyono, menekankan pentingnya profesionalisme guru bagi kemajuan bangsa. Untuk meningkatkan profesionalisme guru, Pemerintah melakukan perbaikan manajemen guru. 

Sementara itu, desakan agar Pemerintah menyediakan anggaran pendidikan melalui APBN sebesar 20% semakin menguat, dan Pemerintah bersama DPR pun dengan legowo menyetujui usulan tersebut. Semua menyadari, bahwa pendidikan sangat penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam proses perjalanan menuju negara yang maju dan mandiri.

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen menjadi titik awal landas picu digulirkannya program-program perbaikan mutu pendidikan. 

Lahirnya UU tersebut telah disambut baik oleh seluruh kalangan di Indonesia. Berbagai diskusi dan tanggapan mengalir deras. Masing-masing pihak menyodorkan beragam ide-ide dan gagasan yang menarik tentang guru di era baru alias Guru Zaman Now, khususnya dalam era globalisasi ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline