Lihat ke Halaman Asli

Nadya Rahmeinasari

Personal Account

Rambu Solo: Upacara Kematian Khas Tana Toraja

Diperbarui: 7 April 2021   20:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

     Barker dalam konsepnya tentang kajian budaya menyatakan beberapa elemen penting terkait kebudayaan, diantaranya kajian budaya memerhatikan praktik-praktik, institusi (sosial, budaya, ekonomi, dsb) serta sistem-sistem klasifikasi dalam komunitas dengan budaya tertentu. Ia juga mengungkapkan, kajian budaya mempertanyakan secara kritis bentuk-bentuk kekuasaan yang meliputi, gender, ras, kelas, hingga kolonialisasi.

     Konsep elemen tersebut dapat kita lihat pada budaya lokal yang ada di Indonesia. Salah satu kebudayaan asli negara ini yang masih erat kaitannya dengan kekuasaan ialah budaya Rambu Solo. Rambu Solo merupakan ritual adat khas Suku Toraja untuk memakamkan keluarga atau kerabat mereka yang telah meninggal dunia. Suku Toraja sendiri merupakan suku yang menetap di pegunungan bagian utara, Sulawesi Selatan, Indonesia. Mayoritas dari mereka memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam, dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo.

      Ketika menyaksikan upacara Rambu Solo ini, maka dapat dengan jelas kita temui adanya percampuran antara budaya dan kepercayaan yang dianut oleh Suku Toraja. Rambu Solo sendiri terdiri dari serangkaian acara yang bisa memakan waktu tiga hingga tujuh hari dalam pelaksanaannya. Dari prosesi ini unsur-unsur budaya, agama, hingga kekuasaan masyarakatnya bisa kita rasakan. 

Rambu Solo merupakan kewajiban bagi mereka yang ditinggalkan, sebab dalam kepercayaan yang mereka anut, kematian seseorang membawa petaka, jika ritual ini tidak dilaksanakan akan mengakibatkan kesialan pada keluarga yang ditinggalkan. 

Dalam hal ini semakin banyak rangkaian acara yang digelar, menunjukkan semakin kaya dan berkuasa pula keluarga tersebut. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.

      Bagi mereka yang memiliki modal lebih, prosesi pemakaman bisa saja didahului dengan acara adu kerbau, di mana kerbau-kerbau pilihan dengan harga yang tidak murah akan diadu di sebuah lahan berlumpur dan menjadi hiburan bagi masyarakat sekitar. 

Menariknya, kerbau-kerbau yang kalah hingga meregang nyawa wajib diganti oleh pemenang dalam kegiatan adu kerbau ini, inilah sebabnya mengapa kegiatan ini hanya bisa dilaksanakan bagi mereka yang memiliki kekayaan berlebih. 

Adanya percampuran budaya dan agama juga dapat kita saksikan saat proses penyambutan tamu, yang mana saat doa-doa serta kidung-kidung dinyanyikan, mereka akan menari secara berkelompok sebagai tanda penghormatan kepada yang telah meninggal.  

Ritual adat ini juga diisi dengan penyembelihan kerbau dan babi. Semakin banyak kerbau ataupun babi yang disembelih, menandakan jika keluarga tersebut memiliki kekuasaan dan kebangsawanan yang tinggi di daerah tersebut. 

Dalam satu kali acara, anggota keluarga wajib memberikan minimal 24 ekor kerbau dan 300 ekor babi dari kisaran harga puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. Suku Toraja memercayai, arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya ke surga dan akan lebih cepat berproses jika ada banyak kerbau yang dipersembahkan. 

Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline