Lihat ke Halaman Asli

Percintaan Opa dengan A’Ay , dari Pantai Selatan ke Pantai Utara [Mini Cerpen 59 -Saptalogi ]

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1294295645186253682

Sejak Teluk Pelabuhan Ratu sampai Karang Antu --- gemuruh suara ombak pantai selatan memang menggetarkan, ombak besar datang menderu, tetapi ada saja orang yang berani bermain-main dan berenang-renang di pinggiran pantai itu. A’ay baru saja keluar dari kamar hotelnya, ia menyeberangi jalan menuju Pantai Citepus, ia melepaskan pandangnya ke sela-sela pohon kelapa untuk melihat sosok Hotel Samudera Beach.

Rambutnya yang panjang terurai dihembus angin melambai-lambai.

Ia ingat pada lelaki tua yang beruban dengan jenggot dan kumis yang memutih itu --- “sorot mata lelaki itu di balik kacamatanya, masih tegas dan sehat………….ia sehat.” Bisik hati A’ay. Pagi itu Pantai Citepus tenang, hanya angin berhembus kencang.

A’ay mengenang perkenalannya dengan Tengku Houd kemarin malam. “Sangat mengesankan cara ia berjabat tangan dan, menyebutkan namanya yang ganjil itu “

Tengku Houd” Lelaki itu enak sekali diajak berbincang dan bercerita, ia menguasai banyak bahan cerita dan humor --- sungguh menghibur hati A’ay yang memang sedang dikacaukan amuk prahara proses perceraiannya. Lelaki itu semalam sekaligus pamit, bahwa subuh ia akan meninggalkan hotel untuk pulang ke Cirebon melalui Bandung.

Dengan sepotong bambu sebagai tongkat A’ay menapaki pantai Citepus . Jejak kakinya jauh berbaris memanjang ke arah timur. Kalau ketemu batu, dikutipnya lantas dilemparkan ke tengah laut --- sepertinya ia ingin melemparkan beban kekacauan hatinya.

Jejak kaki itu terkadang ditingkah jejak tongkat atau malah garis seretan batang bambu itu, memanjang jauh tertinggal.. “Ah, mengapa Pak Tengku pulang, alangkah asyiknya bila pagi ini berbincang sambil menikmati sarapan di coffee shop”.

Wanita 34 tahun itu telah menceburkan dirinya ke kolam renang --- kulit dan bodynya sangat terawat . Ia sehat jasmani tampaknya, tetapi rohaninya telah terkacau balau dalam prahara dua generasi di atasnya --- pada giliran dalam hidupnya pun terombang-ambing dalam gelombang fobia dan tekanan psikologis yang selalu membuat dirinya seperti orang tidak normal.

Tubuh molek itu kini diintai oleh sepasang mata, yang menyorotinya sejak ia melemparkan anduknya di sampiran kursi taman yang teduh di bawah bayang-bayang pohon di matahari pagi. Lelaki itu melonjorkan kakinya ke tembok pembatas taman. Ia menantikan saat yang tepat. Ia sudah puas menonton prilaku perempuan itu, sedang berenang, atau saat melonjakkan badannya keluar air kolam. Memang seksi !

Dua generasi di atas perempuan itu --- dua lelaki yang dikaguminya mati di penjara. Kakeknya seorang Kolonel mati di dalam penjara pada umur 56 tahun. Kolonel itu pada tahun 1967 tertuduh sebagai perwira yang menggelapkan uang operasi dari suatu badan rahasia untuk menumpas komunis. Ia dijatuhi hukuman 5 tahun lebih --- baru menjalani hukuman sekitar 2 tahun, penyakit degeneratif merongrong tubuhnya --- setelah kedua kakinya diamputasi, terjadi pula kerusakan jiwanya. Dari sikap merenung dan menyesali kehidupannya sampai tindakan menyakiti diri dengan membenturkan kepalanya ke jeruji besi. Dia mati dengan tubuh bagian bawahnya membusuk --- penyakit aambein-nya adalah salah satu siksaan yang membuat ia putus asa. Ia dikubur di desa yang telah dianggapnya sebagai kampung halaman . di desa Susukan tempat dulu ia bergerilya dan menumpas DI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline