Yogyakarta – Rencana penggusuran parkiran Abu Bakar Ali yang berada di kawasan strategis Kota Yogyakarta menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, khususnya para juru parkir (jukir) yang menggantungkan hidup dari lokasi tersebut. Parkiran yang terletak di sisi timur Jalan Malioboro ini selama bertahun-tahun menjadi salah satu titik penting dalam pengelolaan kendaraan wisatawan yang datang ke pusat kota.
Langkah penggusuran disebut-sebut merupakan bagian dari program penataan kawasan heritage dan revitalisasi ruang publik di jantung Kota Yogyakarta. Pemerintah daerah berupaya mengurangi kemacetan, meningkatkan kenyamanan wisatawan, serta memperluas area pedestrian di sepanjang Malioboro dan sekitarnya. Dalam konteks itu, penghapusan fungsi parkiran Abu Bakar Ali dipandang sebagai langkah penting menuju kota yang lebih tertata dan ramah pejalan kaki.
Namun, di balik wacana modernisasi ini, tersimpan potensi persoalan sosial yang belum mendapat perhatian memadai. Puluhan juru parkir yang bekerja secara bergantian di tempat tersebut berisiko kehilangan mata pencaharian. Selama ini, mereka berperan penting dalam mengatur kendaraan, menjaga keamanan, hingga memberikan informasi kepada wisatawan yang baru tiba di kawasan tersebut. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki pekerjaan alternatif dan sangat bergantung pada penghasilan harian dari lokasi parkir ini.
Tidak hanya jukir, pengelola parkir dan para pedagang kecil di sekitar lokasi juga terancam terdampak. Parkiran Abu Bakar Ali menjadi simpul ekonomi mikro yang tidak bisa dipisahkan dari denyut aktivitas pariwisata di Malioboro. Tanpa solusi yang jelas dan terstruktur, penggusuran bisa menyebabkan masalah sosial lanjutan, seperti pengangguran, meningkatnya kemiskinan perkotaan, dan ketimpangan ekonomi.
Parkiran ini juga memiliki fungsi penting dalam mendukung manajemen lalu lintas di sekitar Malioboro. Dengan sistem parkir terpusat, arus kendaraan pribadi dan wisatawan dapat diatur lebih tertib. Jika area ini digusur tanpa penyediaan lokasi parkir alternatif yang memadai, dikhawatirkan akan muncul parkir liar di pinggir jalan yang justru memperparah kemacetan dan menurunkan kualitas tata kota.
Hingga kini, belum ada informasi resmi mengenai kapan penggusuran akan dilakukan, serta bagaimana skema relokasi atau kompensasi yang disiapkan bagi para pekerja terdampak. Kurangnya sosialisasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan membuat banyak pihak merasa khawatir dan bingung akan nasib ke depan.
Modernisasi kawasan kota memang penting untuk mendukung wajah pariwisata Yogyakarta yang makin berkembang. Namun, transformasi tersebut idealnya tidak mengorbankan masyarakat kecil yang telah lama menjadi bagian dari ekosistem kota. Penataan kota yang manusiawi seharusnya mempertimbangkan aspek keberlanjutan sosial, bukan hanya perubahan fisik ruang.
Pertanyaan besar pun mengemuka: ke mana para jukir akan pergi setelah parkiran Abu Bakar Ali benar-benar digusur? Tanpa kepastian dan kebijakan yang berpihak pada masyarakat, pembangunan hanya akan meninggalkan jejak ketimpangan baru di tengah kota yang dikenal sebagai simbol budaya dan keramahtamahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI