QUO VADIS HUTAN ADAT MOLOKU KIE RAHA? [1]
Oleh : Muh. Arba'in Mahmud [2]
Artikel ini penulis ulas dalam rangka mendukung "Rapat koordinasi Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat" pada 21 -- 23 September 2016 di Ternate. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat: Adakah di Maluku Utara?
Menjawab pertanyaan di atas, mungkin bagi sebagian pembaca dapat dianggap 'subversif', sarkasme bahkan sebagai pertanyaan bodoh. Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Maka serta merta, muncul pernyataan; apakah penulis tinggal di gua atau langit sehingga tidal kenal budaya Empat Kesultanan di Maluku Utara. Atau apakah penulis tidak pernah baca koran, nonton TV lokal atau gaulsehingga tidak mendengar kasus hukum Bokum-Nohu* ataupun fenomena 'gegar gender' NBS**?
Maaf! Penulis tidak bermaksud menguji nyali - memancing emosi para pembaca pun tidak hendak menafikan isu dan permasalahan hutan adat dan masyarakat hukum adat (MHA). Justru dengan pertanyaan sederhana, penulis ingin mengajak pembaca sejenak berfikir sekaligus mengasah kembali kepedulian kita terhadap potensi sumber daya alam -- manusia di bumi Moloku Kie Rahaini.
Telah diketahui, Hutan Adat merupakan hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat (MHA) dan berdasarkan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 harus dimaknai sebagai Hutan Hak. Hutan Adat bertujuan untuk memberikan akses kepada masyarakat sekitar hutan, dalam hal ini MHA, untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Potensi Hutan Adat di Maluku Utara relatif belum teridentifikasi dan terinventarisir secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan selama ini belum ada kebijakan pemerintah pusat maupun daerah yang serius mengembangkan pengelolaan Hutan Adat.
Selain karena pandangan awal yang keliru sebelum putusan MK No. 35 terbit, bahwa Hutan Adat adalah hutan negara, eksistensi masyarakat adat di dalam dan sekitar kawasan hutan relatif dinafikan oleh Pemerintah dan Pemilik Modal --Penguasa dan Pengusaha-. Bahkan, sebagian para pihak masih beranggapan masyarakat adat sebagai 'objek pembangunan' yang potensial sebagai 'komoditas politik-ekonomi' oleh oknum-oknum aparat pemerintah ataupun para pegiat pemberdayaan masyarakat lainnya (Organisasi non pemerintah / Ornop). Oleh karenanya, pasca terbitnya MK No. 35 tersebut, ketika wicara tentang Hutan Adat maka yang tersirat adalah kisah konflik tata batas kawasan, perebutan lahan hingga okupasi lahan baik antar sesama masyarakat, masyarakat dengan negara (pemerintah) ataupun masyarakat dengan pengusaha.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum (UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup/PPLH).
Berbeda dengan keberadaan Hutan Adat yang relatif kurang jelas, eksistensi MHA di Maluku Utara secara nyata telah ada dan menyebar di sepanjang jazirah Halmahera dan sekitarnya. Menurut data AMAN Maluku Utara, jumlah masyarakat adat di Malut kurang lebih 57 komunitas yang terdaftar, dan + 100 komunitas yang belum terdaftar. Secara umum masyarakat adat tersebut berbasis komunitas (sub suku), semisal Suku Sawai (Halmahera Tengah) terdapat 15 komunitas (Pnu).