Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Quo Vadis Hutan Adat Moloku Kie Raha?

14 September 2017   09:48 Diperbarui: 14 September 2017   10:14 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

QUO VADIS HUTAN ADAT MOLOKU KIE RAHA? [1]

Oleh : Muh. Arba'in Mahmud [2]

 

Artikel  ini penulis ulas dalam rangka mendukung "Rapat koordinasi Penanganan  Konflik Tenurial dan Hutan Adat" pada 21 -- 23 September 2016 di Ternate.   Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Penanganan Konflik,  Tenurial dan Hutan Adat, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan  Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (KLHK).

 Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat: Adakah di Maluku Utara?

Menjawab  pertanyaan di atas, mungkin bagi sebagian pembaca dapat dianggap  'subversif', sarkasme bahkan sebagai pertanyaan bodoh. Kura-kura dalam  perahu, pura-pura tidak tahu. Maka serta merta, muncul pernyataan;  apakah penulis tinggal di gua atau langit sehingga tidal kenal budaya  Empat Kesultanan di Maluku Utara. Atau apakah penulis tidak pernah baca  koran, nonton TV lokal atau gaulsehingga tidak mendengar kasus hukum Bokum-Nohu* ataupun fenomena 'gegar gender' NBS**?

Maaf!  Penulis tidak bermaksud menguji nyali - memancing emosi para pembaca  pun tidak hendak menafikan isu dan permasalahan hutan adat dan  masyarakat hukum adat (MHA). Justru dengan pertanyaan sederhana, penulis  ingin mengajak pembaca sejenak berfikir sekaligus mengasah kembali  kepedulian kita terhadap potensi sumber daya alam -- manusia di bumi Moloku Kie Rahaini.

Telah  diketahui, Hutan Adat merupakan hutan yang berada di dalam wilayah  masyarakat hukum adat (MHA) dan berdasarkan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012  harus dimaknai sebagai Hutan Hak. Hutan Adat bertujuan untuk memberikan  akses kepada masyarakat sekitar hutan, dalam hal ini MHA, untuk  berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Potensi Hutan Adat di Maluku  Utara relatif belum teridentifikasi dan terinventarisir secara  menyeluruh. Hal ini dikarenakan selama ini belum ada kebijakan  pemerintah pusat maupun daerah yang serius mengembangkan pengelolaan  Hutan Adat.

Selain karena pandangan awal yang keliru sebelum  putusan MK No. 35 terbit, bahwa Hutan Adat adalah hutan negara,  eksistensi masyarakat adat di dalam dan sekitar kawasan hutan relatif  dinafikan oleh Pemerintah dan Pemilik Modal --Penguasa dan Pengusaha-.  Bahkan, sebagian para pihak masih beranggapan masyarakat adat sebagai  'objek pembangunan' yang potensial sebagai 'komoditas politik-ekonomi'  oleh oknum-oknum aparat pemerintah ataupun para pegiat pemberdayaan  masyarakat lainnya (Organisasi non pemerintah / Ornop). Oleh karenanya,  pasca terbitnya MK No. 35 tersebut, ketika wicara tentang Hutan Adat  maka yang tersirat adalah kisah konflik tata batas kawasan, perebutan  lahan hingga okupasi lahan baik antar sesama masyarakat, masyarakat  dengan negara (pemerintah) ataupun masyarakat dengan pengusaha.

Masyarakat  Hukum Adat (MHA) adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun  bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal  usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta  adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan  hukum (UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan  Hidup/PPLH).

Berbeda dengan keberadaan Hutan Adat yang relatif  kurang jelas, eksistensi MHA di Maluku Utara secara nyata telah ada dan  menyebar di sepanjang jazirah Halmahera dan sekitarnya. Menurut data  AMAN Maluku Utara, jumlah masyarakat adat di Malut kurang lebih 57  komunitas yang terdaftar, dan + 100 komunitas yang belum  terdaftar. Secara umum masyarakat adat tersebut berbasis komunitas (sub  suku), semisal Suku Sawai (Halmahera Tengah) terdapat 15 komunitas (Pnu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun