Di halaman kampus tua, suara tawa bergema. Langkah-langkah kaki alumni menapaki kerikil-kerikil kenangan. Di antara mereka, seorang mantan presiden hadir, duduk di tengah senyuman dan pelukan, seolah waktu belum pernah membawa badai politik ke dalam hidup kita bersama.
Tapi, rakyat---yang di luar pagar kampus itu---mungkin tak semua ikut tersenyum.
Reuni itu berlangsung seperti pertunjukan lama yang diperbarui tata lampunya, namun naskahnya tetap sama: nostalgia, tepuk tangan, dan keakraban yang dikemas manis. Seolah-olah tak ada luka yang belum dijahit, seolah tidak pernah ada demokrasi yang dihujam dengan senyap.
Di dalam gedung, tepuk tangan menyambut nama yang dulu dielu-elukan rakyat, yang pernah menjanjikan perubahan, merakyat, dan sederhana. Tapi di luar sana, kepercayaan telah terlanjur ditarik pelan-pelan seperti benang dari kain lapuk. Banyak yang merasa dikhianati oleh keputusan-keputusan yang terlihat lebih berpihak pada kekuasaan daripada suara akar rumput.
Reuni ini, barangkali, hanyalah reuni. Tapi dalam kaca mata rakyat kecil, ia juga bisa tampak seperti pesta kecil kaum elite---yang bersulang di atas puing-puing harapan mereka yang dulu memilih dengan hati.
Kita belajar dari sejarah, bahwa pengkhianatan bukan selalu hadir dalam bentuk senjata. Kadang ia lahir dalam bentuk senyuman, tepuk bahu, dan diplomasi yang membingkai pengalihan kuasa.
Pramoedya pernah menulis: "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah." Maka tulisan ini bukan sekadar tentang reuni itu, tapi tentang bagaimana sejarah disusun: dengan ingatan yang jujur, dengan suara mereka yang tidak diajak makan malam, tidak duduk di barisan depan, dan tidak diundang ke meja keputusan.
Reuni bisa berarti pertemuan, tapi bisa juga menjadi simbol keterpisahan antara kekuasaan dan hati nurani rakyat. Dan dari semua yang hadir di dalamnya, hanya waktu yang akan memutuskan: apakah ini reuni untuk mengenang harapan yang mati muda, atau pengantar diam-diam menuju pelupaan yang disengaja?
Teaser untuk Kompasiana:
Di tengah riuh reuni alumni UGM yang dihadiri mantan Presiden, banyak hati justru mengendap dalam sunyi. Sebuah tulisan reflektif untuk mengingatkan bahwa tak semua kenangan layak dirayakan jika kepercayaan publik sedang menipis.
Ingin saya bantu layout untuk unggahannya (judul, tagar, cover image rekomendasi)?