Sebagai bangsa dengan semangat membara untuk sepak bola, menyaksikan Timnas U-17 Indonesia tumbang 6-0 dari Korea Utara dalam Piala Asia 2025 tentu bukan hanya soal skor. Ini adalah momen reflektif, apa kabar mental juang para pemain muda kita? Di stadion terbuka dengan kursi-kursi yang lebih banyak kosong, aura pertandingan ini terasa dingin, dan bukan hanya karena angin siang yang menghembus angin gurun.
Pada menit ke-25, gawang kita sudah terkoyak dua kali, salah satunya oleh aksi presisi Choe Song Hun. Penonton di rumah mungkin masih duduk tegak, berharap laga berjalan seimbang. Namun harapan itu pelan-pelan menjadi keprihatinan. Korea Utara bermain tidak hanya dengan taktik, tapi dengan keberanian dan kedisiplinan mental.
Saat babak kedua baru berjalan dua menit, gol ketiga bersarang tanpa ampun. Indonesia tampak goyah secara mental, bukan hanya secara teknis. Di sepak bola elite, ini sinyal bahaya. Ketika mental tidak siap, bahkan fisik yang prima pun akan kehilangan arah. Itulah yang tersaji malam itu.
Serangan-serangan dari sisi kiri yang dihuni Daniel menjadi cerita berulang. Anak muda ini berjibaku seorang diri, berusaha meredam gelombang serangan lawan. Tapi sepak bola bukan soal satu nama. Ini soal kolektivitas yang digerakkan oleh satu semangat, mental pantang menyerah.
Menit 60, penalti untuk Korea Utara. Dan hanya semenit kemudian, gol kelima masuk. Dalam bahasa sepak bola Eropa, ini disebut psychological collapse, runtuhnya ketahanan mental tim secara menyeluruh. Sebuah hal yang hanya bisa dihindari jika sejak awal, fondasi mental dibangun seteguh taktik dan teknik. Gol keenam di menit 76 melalui skema sepak pojok hanya mempertegas dominasi lawan yang tampil seperti mesin. Namun mari kita jujur: mesin itu digerakkan oleh mentalitas pejuang, bukan hanya latihan fisik semata. Dan kita, malam itu, belum mampu menyainginya.
Skor bisa dicetak siapa saja, tapi mental juara hanya dimiliki mereka yang tak pernah menyerah meski jatuh berkali-kali.
Stadion dengan kapasitas terbatas membuat pertandingan terasa seperti sesi latihan tertutup. Riuh suporter yang biasanya menyuntik adrenalin hilang. Tapi di sinilah ujian sejati terjadi. Mental juara adalah mereka yang bisa tampil menyala, bahkan saat dunia sepi dari tepuk tangan.
Para pemain muda kita tampak bermain seperti kehilangan arah setelah dua gol awal. Mereka tidak bermain buruk secara teknik, tapi tidak cukup kuat untuk bangkit setelah jatuh. Ini bukan tentang kesalahan individu, ini tentang belum terbentuknya karakter kompetitif yang solid.
Kemenangan bukan soal taktik semata. Sebagai konsultan teknik di klub Real Madrid, saya tahu bahwa kekuatan mental adalah hal pertama yang dibangun dari akademi. Kami menanamkan satu prinsip: "Kalah boleh, menyerah tidak." Dan prinsip ini tampaknya belum benar-benar hidup di dada anak-anak kita.
Korea Utara datang memang sebagai salah satu favorit. Mereka punya satu nilai yang membawa mereka ke puncak, determinasi. Mereka membaca titik lemah, lalu menyerang habis-habisan. Tanpa ragu, tanpa takut. Ini bukan hanya latihan taktik, tapi latihan hati. Ini jugalah yang kiranya memantaskan dua gelar dalam turnamen Piala Asia U-17 pernah diraih.
Mental juang bukan hanya bangkit dari kekalahan. Ia adalah kemampuan untuk tetap percaya diri, tetap disiplin, tetap bermain seperti skor masih 0-0. Kita butuh pemain yang tahu caranya bertahan, bukan hanya dari bola, tapi dari tekanan psikologis. Pertandingan ini harus menjadi cermin, bukan kuburan. Kekalahan ini bukan akhir dunia. Tapi jika tidak direspons dengan pembenahan serius pada aspek mental, maka hasil serupa akan berulang. Timnas U-17 harus dibangun kembali dengan pondasi yang lebih dalam.