Indonesia tidak baik-baik saja,lekas sembuh Indonesiaku dan bebaskan kawan kami, inilah tagar atau tagline yang marak sejak seminggu terakhir. Bulan Agustus yang seharusnya bulan penuh kesuka-citaan menandai 80 tahun kemerdekaan Indonesia malah menjadi bulan penuh duka atas hilangnya kepedulian, kepekaan dan kepancasilaan di bumi Nusantara. Berbagai masalah hadir berentetan seakan tak memberi ruang untuk bernafas lega di negara yang katanya "Merdeka".
Kenaikan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kekerasan yang dilakukan aparat, dan ironisnya tanggapan dari bapak ibu dewan perwakilan rakyat menjadi berita sehari-hari kita semua pada bulan lalu. Dengan tumpukan kejanggalan dan ketimpangan inilah berbagai elemen masyarakat bersatu menyuarakan desak dan aspirasi mereka di seluruh penjuru daerah Indonesia. Masyarakat berharap dengan dalih mengeluarkan aspirasi, mereka dapat membuat pemerintah sadar dengan kesalahannya dan melakukan pembenahan sesegera mungkin. Namun, yang terjadi beberapa dari mereka yang memiliki kewenangan malah lari dari tanggung jawab, sehingga membuat masyarakat tambah geram dengan perilaku yang tidak pantas tersebut. Alhasil timbullah berbagai aksi yang berkonotasi anarkis pada pihak aparat, yang pada ujungnya merenggut nyawa orang lain. Bila dilihat dari kacamata "sebab akibat" jikalau pemerintah melakukan rekontruksi kebijakan secepat dan sesegera mungkin, maka tidak akan ada aksi yang merenggut nyawa masyarakat seperti yang terjadi di daerah Jakarta (Alm. Affan Kurniawan,28/8/2025), Yogyakarta (Alm. Rheza Sendy Pratama,31/8/2025) dan seluruh daerah di Indonesia.
Berbagai aksi dan demopun dilakukan sebagai bentuk perlawanan dan permintaan penanggung jawaban atas semua masalah yang terjadi seperti aksi didepan gedung DPRD Sulawesi Barat (31/8/2025). Dengan berbagai aksi dan demo inilah diperlukan pengetahuan dan daya pikir kepancasilaan yang baik agar aspirasi yang disuarakan tidak berujung anarkis dan menimbulkan korban serta terprovokasi untuk menciptakan pertikaian antar sesama. Selain dari tidak tersampaikannya suara dan aspirasi masyarakat, aksi ricuh dan gaduh dapat memberikan dampak kerugian yang signifikan sehingga beberapa dari mereka "diculik" oleh aparat. Tercatat untuk Jakarta saja, Komnas HAM mencatat 1.683 orang ditangkap selama demonstrasi 25-31 Agustus.
Kepancasilaan adalah satu-satunya landasan yang seharusnya menjadi ciri khas masyarakat khususnya anak muda Indonesia (mahasiswa) sebagai ujung tombak aksi dan pemercik perubahan. Akan tetapi, gerakan mahasiswa sebaiknya membawa "etika Pancasila" agar tidak mudah diprovokasi dan di adu domba, dengan mengalih maknakan aksi penyuaraan aspirasi rakyat pada kerusuhan dan perusakan fasilitas umum. Dengan begitu, perjuangan tetap kuat namun bermartabat. Dengan pemahaman Pancasila yang kritis demonstran diharapkan tidak anarkis hingga menimbulkan kegaduhan bahkan perusakan fasilitas yang bukannya mendapat jawaban dari aspirasi mereka, tapi hanya menambah beban negara yang akan memperlambat terkabulnya aspirasi yang disuarakan sebelumnya.
Tidak tertutup dengan para Dewan Perwakilan Rakyat yang hingga saat ini belum nampak kejelasannya dan apatis pada semua hal yang terjadi. Bahkan beberapa dari mereka kembali mencuat pasca aksi kemarin karena menampilkan tanggapan dan gestur yang tidak sepatutnya dilakukan oleh mereka selaku Perwakilan Rakyat. Meski tunjangan DPR telah dihentikan sejak 31 Agustus 2025 masyarakat masih menganggap perlunya perubahan baik dalam hal sistematis dan struktural secara menyeluruh di barisan pemerintahan yang dirangkum pada 17+8 tuntutan rakyat. Tuntutan 17+8 tersebut mencakup perbaikan sistemik seperti pemberantasan korupsi, penegakan supremasi hukum, peningkatan kesejahtetaan guru/honorer dan transparansi anggaran, serta tuntutan struktural seperti evaluasi kinerja anggota DPR, pembatasan masa jabatan, dan mekanisme pemecatan untuk wakil rakyat yang tidak aspiratif. Tuntutan ini juga menekankan reformasi kebijakan publik yang mendukung rakyat kecil, termasuk jaminan pendidikan dan kesehatan gratis, serta penguatan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan khusunya Dewan Perwakilan Rakyat secara menyeluruh.
Dengan pancasila sebagai pandangan hidup maka akan memberi dampak positif pada setiap langkah yang dijejaki seperti menciptakan kerukunan dengan musyawarah dan mufakat, tidak menyebarkan provokasi atas dasar SARA, dan mengedepankan tujuan bersama untuk kemaslahatan bangsa. Yang dimana kepancasilaanlah yang harusnya menjadi dasar langkah Indonesia saat ini dan kedepannya. Apa pun perubahan dan tindakan yang akan dilakukan pemerintah selanjutnya, kami berharap segala aspirasi yang disuarakan dapat ditepati, dikabulkan dan diwujudkan selaras dengan penanaman nilai Pancasila di setiap langkah kedepannya. Pancasila kedepannya harus berperan sebagai "Living Ideology" (Ideologi yang Hidup), bukan sekadar slogan, dengan menjadi filter etis dan pemersatu bangsa yang tangguh dalam menghadapi kontroversi global, pertentangan, dan intoleransi, serta menjadi pedoman yang kompleks dalam kebijakan dan kehidupan sehari-hari dalam lingkup masyarakat berbangsa dan bernegara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI