Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Andi Firmansyah

TERVERIFIKASI

Mahasiswa Ilmu Politik

Cerpen: Sebuah Dialog Alam Raya

Diperbarui: 10 Januari 2021   12:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita seperti aktor yang tiba-tiba muncul dalam sebuah pertunjukan teater | Ilustrasi oleh Michele Caballero Siamitras Kassube via Pixabay

Shira sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Sepanjang jalan yang ia telusuri, orang-orang begitu sibuk, kiranya. Sebagian orang berjalan sekian cepatnya sembari membawa koper dengan seragam kantorannya. Beberapa kali mereka mengangkat sebelah tangannya untuk melihat waktu, seakan sudah terlambat menghadiri sebuah pesta. Setidaknya begitulah kelihatannya. Dan itu aneh bagi Shira. Ini 'kan menjelang sore, mengapa mereka seperti terburu-buru? Mungkin terlambat untuk sebuah acara sirkus.

Di sudut lain, orang-orang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Suara-suara bising dari ketukan palu meramaikan suasana perkotaan. Puluhan kendaraan berlalu-lalang setiap menitnya. 

Cerobong di pabrik-pabrik itu memuntahkan kotorannya. Tetapi itu tak mengganggu hidung Shira, malahan aroma roti baru diangkat yang menyengat. Shira sangat suka dengan aroma khas ini. Hanya dengan mencium baunya saja, ia bisa meramalkan jenis roti apa yang baru saja diangkat oleh seorang koki di dapur toko-toko roti itu. Dan yang ini adalah roti panggang dengan selai cokelat, tebak Shira.

Ini masih belum terlalu sore, jadi Shira menyempatkan diri ke taman untuk duduk manis menikmati suasana kedamaian. Beberapa puluh tahun yang lalu, suasana seperti ini sangat sulit ditemukan. Barangkali hanya ada kebisingan suara pistol dan granat saat itu. Maka Shira tak mau menyia-nyiakan (sedikit) kedamaian ini.

Ia duduk di sebuah kursi kayu yang panjangnya 2 kali lipat dari tinggi badannya. Burung-burung Dara mendekati Shira, berharap anak gadis ini memiliki beberapa potong kecil roti atau sekeping kacang. Namun Shira tak menghiraukan burung-burung itu. Ia hanya menatap langit biru sedikit oranye yang menaungi kota Alodie.

Ajaib, pikirnya. Tuhan menciptakan alam raya seperti seorang pelukis. Dan betapa mudahnya melukis alam raya bagi-Nya. Apakah Tuhan membutuhkan penghapus saat melukis alam raya ini? Shira ragu; sebuah penghapus hanya digunakan anak-anak saat pertama belajar melukis. 

Dan apakah Tuhan pernah kehabisan cat warna untuk memberikan kesan indah pada alam raya ini? Shira juga ragu; hanya pelukis pemula yang kehabisan cat warnanya. Yang Maha Agung pasti sudah mempersiapkan segala-galanya dengan rinci.

Awan-awan itu tak kalah menawan; sebagian tebal dan yang lain tipis sehalus kapas. Shira berpikir, apakah awan-awan juga pandai melukis?

Beberapa kali Shira melihat awan-awan terbang membentuk sesuatu. Terkadang seekor unicorn, kura-kura, ikan, bahkan wajah manusia. Dan yang ini seekor kelinci. Jika memang awan-awan itu pandai melukis, maka mereka pun juga hidup?

Di tengah kenikmatannya memandang sekitar, seorang pria dewasa dengan mantel hitam menghampiri Shira.

"Permisi, Nak? Boleh saya duduk di sini?" pinta pria dewasa itu dengan suara lembut sembari duduk di samping Shira. Aneh, padahal Shira belum menjawab apa pun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline