Lihat ke Halaman Asli

Waspadalah, Penipuan Online

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh MUCH. KHOIRI

Penipuan online, sebagai fenomena budaya, semakin hari semakin menggemaskan.  Ada yang menawarkan hadiah atau hasil undian. Ada yang minta transfer uang ke rekening tertentu. Ada yang iming-iming seminar atau wisata ke luar negeri. Ada pula bisnis online alias investasi (bodong) online.

Membonceng kecanggihan teknologi (terutama toko online profesional), penipuan online berkedok investasi manis seolah tiada putus. Sejak terkuaknya Qurnia Sanur Alam Raya (QSAR, 2002), investasi keuangan dengan kerugian Rp 800 miliar, telah menyusul terbongkarnya jaringan Adess Sumber Hidup Dinamika (2003), Medical (2003), Merlian Artha Sejahtera (2005), Interbanking Bisnis Terencana (2006), dan sejumlah MLM.

Yang mencengangkan, Wahana Bersama Globalindo (WBG) (valas, Rp 3,5 triliun, 2007), Gama Smart Karya Utama (valas, Rp 12 triliun, 2007), Sarana Perdana IndoGlobal (valas, Rp 2,1 triliun, 2007), PT Gradasi Anak Negeri (MLM, Rp 390 miliar, 2012), Koperasi Langit Biru (bisnis daging, Rp 6 triliun, 2012), dan PT Gemilang Reksa Jaya (MLM, ratusan miliar rupiah, 2012) (Kompas, 25/7/2012).

Baru-baru ini meledak kasus penipuan investasi emas oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). Lalu penipuan online investasi valas di website www.pandawainvesta.com. Modusnya, menjanjikan keuntungan 50%, 70%, 100%, 300% kepada korbannya--bergantung nilai investasi trading. Pelaku yang ternyata mahasiswa itu telah menjaring 338 nasabah dan meraup Rp 40 miliar.

Setahun terakhir, polisi banyak menangani kasus penipuan yang terjadi melalui belanja online di internet. Modusnya beragaam mulai berkedok penjual gadget, elektronik, sampai penjual jersey pemain sepakbola. Terungkap 300 lebih toko online palsu, dengan kerugian hingga miliaran.

Konsumerisme/Hedonisme

Dalam penipuan online, ada empat unsur terlibat di dalamnya: penipu, yang tertipu, barang-jasa sasaran penipuan, dan modus. Penipu bisa menjalankan modusnya untuk mengeruk barang-jasa orang tertipu, karena si penipu “hebat” dalam memahami dunia ide si tertipu.

Si tertipu adalah bagian dari publik pemimpi akibat konsumerisme dan hedonisme berkat hasratnya meraih keinginan. Boleh jadi mereka hendak lari (escape) dari keruwetan dan kejenuhan, dan mencari zona nyaman.

Terlebih, dunia media (dengan kuasa kulturalnya yang hegemonik) telah menguatkan hasrat publik atas “mimpi” mereka: acara quiz, bedah rumah, rezeki nomplok, dan lain-lain. Diam-diam mereka menjadi iri dan/atau dengki.

Ketika ada outlet merebut zona nyaman, mereka tak segan “membarter” apapun dan berapapun untuk meraup “rezeki” dengan cara instan. Mereka bisa tergiur untuk investasikan modal guna mengeruk keuntungan secepatnya.

Hasrat konsumerisme/hedonisme publik inilah peluang besar yang dibidik oleh penipu. Jadi, penipu itu jeli membaca “mimpi” publik meski hanya dalam dunia ide. Apa yang diinginkan publik adalah simbol konsumerisme dan hedonisme—dan itu harus dibeli lewat modus yang melenakan.

Karena itu, modus penipu pastilah canggih dan cerdas. Jika tak canggih dan cerdas, ia tak lihai menawarkan hadiah/hasil undian, minta transfer uang, pelesir luar negeri, atau membuka investasi online. Meyakinkan orang butuh kecerdasan kognitif, emosional, dan talenta sosial-psikologis yang hebat.

Pada kasus GTIS, ada tawaran amat menawan dan memabukkan calon investor dengan imbal hasil (yield) minimal 2% per bulan atau 24% per tahun. Imbal balik ini jauh lebih tinggi daripada suku bunga deposito bank yang saat ini hanya sekitar 4-5% per tahun. Bahkan, investasi abal-abal itu terkadang berkedok koperasi.

Pada kasus valas di atas, 338 nasabah bukan orang bodoh, tapi orang terlena oleh mimpi untuk meraup uang dengan cara instan. Begitu juga para pembeli di 300 lebih toko online palsu. Saking terlenanya—seperti dibuai mimpi—mereka tak sadar sedang dibius dengan modus canggih dan cerdas yang dilancarkan oleh si penipu yang masih mahasiswa itu.

Si penipu menjual mimpi, dan para nasabah membelinya.  Sebagai kriminal, penipu itu pasti berpikir dan bertindak selangkah lebih maju daripada manusia biasa atau polisi. Modus kriminal dipraktikkan sebelum dipelajari polisi. Kriminal sering tak terduga, dan  selalu menggemaskan.

Kesadaran Kritis

Konsumerisme dan hedonisme adalah ideologi gaya hidup. Maka, penipuan online sejatinya juga bersumber dari gaya hidup publik. Selagi gaya hidup tetap mengibarkan keserakahannya, penipuan online akan muncul dengan berbagai modusnya. Selalu ada peluang untuk dimasuki oleh para penipu.

Kesadaran kritis-lah yang dapat mengerem lajunya penipuan online. Ia akan mendekonstruksi pemikiran dan hasrat konsumtif dan hedonis, dari keinginan (want) ke kebutuhan (need). Setidaknya, ia akan memberikan penafsiran cerdas dan hati-hati terhadap modus penipuan yang mengancamnya.

Dengan kesadaran kritis, publik sebagai calon nasabah atau investor akan membekali diri pengetahuan praktis mengenai seluk-beluk investasi dalam aneka bidang seperti koperasi, simpan pinjam, emas, syariah, perdagangan saham, atau arisan berantai.

Publik sebelum berinvestasi sudah lebih dulu memahami potensi risiko yang bakal dihadapi. Publik tidak hanya menimbang manfaat manis investasi, melainkan juga risikonya. Investasi bagaikan koin bermuka dua, madu dan racun. Nasabah atau investor harus menguasai dua muka sekaligus.

Terlebih jika kesadaran kritis bekerja secara komulatif dalam relasi sosial-kultural publik, sehingga menjadi sebuah bangunan kesadaran kolektif (collective conscience) untuk melawan penipuan online. Jika tidak habis, kastil dan jaringan penipuan online akan rontok secara sporadis dan perlahan.

Meski demikian, kesadaran kritis tak akan berdaya apa-apa tatkala hasrat konsumerisme dan hedonisme tetap bercokol dan mengendon lebih dalam di dasar akal budi. Kesadaran kritis akan mandul jika eskapisme diri malah men-sah-kan berkuasanya konsumerisme dan hedonisme.

Maka, sekali lagi, publik sepatutnya segera membangun kesadaran kritisnya sebagai kurasi dan terapi bagi hasrat busuk konsumerisme dan hedonisme semu, dan sebagai filter dan tameng atas gempuran berbagai modus penipuan online yang kian merajalela.

Selama publik masih memuja konsumerisme dan hedonisme semu, penipuan online akan terus bertumbuh-berkembang, tak peduli seberapa maju suatu publik. Kini, terserah  publik, apakah mau memberantas ataukah mempeluangi penipuan online?***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline