Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Di Jakarta Ada "Sekda Rasa Mensesneg"

Diperbarui: 6 Februari 2020   20:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekda DKI Jakarta Saefullah dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (Foto: merdeka.com)

Kosa kata "rasa" sedang naik daun di jagad politik kita.  Dalam suatu frasa ujaran politis, tentu saja.

Mulanya adalah frasa "gubernur rasa presiden".  Jelas maksudnya Anies Baswedan, Gubernur Jakarta sekarang.  

Entah siapa yang merasa Anies itu selayaknya presiden.  Mungkin segelintir dari 58 persen pemilih Jakarta yang mendudukkannya di kursi  gubernur.

Rujukannya mungkin dinamika Pilgub Jakarta 2017.  Ada yang bilang "Pilgub (se)rasa Pilpres".  Karena kuatnya gejala polarisasi pemilih Jakarta berdasar sentimen keagamaan waktu itu. Bahkan gejala itu menembus batas kewilayahan Jakarta.

Mengekor ke suasana Pilgub 2017, segelintir pendukung Anies mungkin terinspirasi menggelari Anies, pemenang kontestasi, sebagai "gubernur rasa presiden". Ya, namanya euforia, wajar-wajar saja.

Tapi ketika segelintir pendukungnya   baru-baru ini mengujarkan lagi frasa "gubernur rasa presiden", alasannya pantaslah dipertanyakan.  Masa hanya karena  Anies ikut mengangkat sampah banjir dengan tangan telanjang, lalu dipuji sebagai gubernur rasa presiden.

Aneh banget. Gubernur memberi contoh cara angkat sampah yang primitif dan tak sehat kok ya dibilang "rasa presiden".

Sejatinya 42 persen pemilih Jakarta dulu menilainya tidak layak sekalipun  untuk jadi gubernur.  Apalagi jadi presiden. Penilaian yang tidak salah.  Kalau melihat kinerja Anies selaku Gubernur Jakarta selama dua tahun berlalu.

Janji besarnya belum digenapi.  Rumah DP Rp 0 untuk warga berpenghasilan Rp 7 juta/bulan belum kesampaian. Reklamasi teluk Jakarta tak sepenuhnya berhenti. Drainase vertikal baru 1,000-an lubang dari target 1.8 juta lubang.  Naturalisasi sungai tak kunjung dilakukan.  

Belum lagi rencana anggaran kesusupan biaya pembelian lem aibon Rp 82 miliar. Dirut Transjakarta yang dipilih ternyata berstatus terpidana.  Kredibilitas dan integritas kobtraktor revitalisasi Monas dipertanyakan.

Yang ada kini adalah gejala desertifikasi, penggurunan Jakarta.   Puluhan pohon peneduh jalan dibabat demi betonisasi trotoar. Ratusan pohon di Monas dibabat demi pembangunan plasa.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline