Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Di Jakarta Ada "Sekda Rasa Mensesneg"

6 Februari 2020   17:26 Diperbarui: 6 Februari 2020   20:51 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekda DKI Jakarta Saefullah dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (Foto: merdeka.com)

Kosa kata "rasa" sedang naik daun di jagad politik kita.  Dalam suatu frasa ujaran politis, tentu saja.

Mulanya adalah frasa "gubernur rasa presiden".  Jelas maksudnya Anies Baswedan, Gubernur Jakarta sekarang.  

Entah siapa yang merasa Anies itu selayaknya presiden.  Mungkin segelintir dari 58 persen pemilih Jakarta yang mendudukkannya di kursi  gubernur.

Rujukannya mungkin dinamika Pilgub Jakarta 2017.  Ada yang bilang "Pilgub (se)rasa Pilpres".  Karena kuatnya gejala polarisasi pemilih Jakarta berdasar sentimen keagamaan waktu itu. Bahkan gejala itu menembus batas kewilayahan Jakarta.

Mengekor ke suasana Pilgub 2017, segelintir pendukung Anies mungkin terinspirasi menggelari Anies, pemenang kontestasi, sebagai "gubernur rasa presiden". Ya, namanya euforia, wajar-wajar saja.

Tapi ketika segelintir pendukungnya   baru-baru ini mengujarkan lagi frasa "gubernur rasa presiden", alasannya pantaslah dipertanyakan.  Masa hanya karena  Anies ikut mengangkat sampah banjir dengan tangan telanjang, lalu dipuji sebagai gubernur rasa presiden.

Aneh banget. Gubernur memberi contoh cara angkat sampah yang primitif dan tak sehat kok ya dibilang "rasa presiden".

Sejatinya 42 persen pemilih Jakarta dulu menilainya tidak layak sekalipun  untuk jadi gubernur.  Apalagi jadi presiden. Penilaian yang tidak salah.  Kalau melihat kinerja Anies selaku Gubernur Jakarta selama dua tahun berlalu.

Janji besarnya belum digenapi.  Rumah DP Rp 0 untuk warga berpenghasilan Rp 7 juta/bulan belum kesampaian. Reklamasi teluk Jakarta tak sepenuhnya berhenti. Drainase vertikal baru 1,000-an lubang dari target 1.8 juta lubang.  Naturalisasi sungai tak kunjung dilakukan.  

Belum lagi rencana anggaran kesusupan biaya pembelian lem aibon Rp 82 miliar. Dirut Transjakarta yang dipilih ternyata berstatus terpidana.  Kredibilitas dan integritas kobtraktor revitalisasi Monas dipertanyakan.

Yang ada kini adalah gejala desertifikasi, penggurunan Jakarta.   Puluhan pohon peneduh jalan dibabat demi betonisasi trotoar. Ratusan pohon di Monas dibabat demi pembangunan plasa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun