Lihat ke Halaman Asli

Jejak Asa di Kota Kembang

Diperbarui: 4 Oktober 2025   06:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Udara Bandung pagi itu sejuk membelai kulit, membawa aroma samar pepohonan basah. Pukul enam tepat, Cahya, Bedil, dan Aim sudah berdiri di depan mobil Mas Yono, paman sepupu Cahya dari Kabupaten Tangerang. Kunci kamar penginapan sudah dikembalikan, koper dan ransel ditumpuk rapi. Mas Yono, setelah mengunci mobil, menghilang sebentar ke lobby untuk menyeruput kopi pagi---aroma pahit dan kuat minuman itu menjadi janji pemanasan sebelum hari yang panjang.

Perjalanan mereka ke Bandung kemarin telah menjadi epik tersendiri. Cahya dijemput Mas Yono di Bandara Soekarno Hatta, dan mereka tiba di Bandung pukul dua siang. Waktu tempuh yang biasanya cepat terasa menjulur panjang seperti karet karena gerimis dan padatnya jalanan, dampak dari momen liburan sekolah yang membuat Bandung bersinar bak magnet bagi wisatawan. Berbekal Google Map, Mas Yono berhasil menemukan penginapan yang telah dipesan Cahya: dua kamar---satu untuk Mas Yono dan Bapaknya Bedil, satu lagi untuk trio calon mahasiswa.

Sementara itu, Bedil dan Bapaknya menjalani perjalanan darat yang lebih berliku. Dari Bandar Lampung, mereka menyeberang Bakauheni-Merak, lalu melanjutkan dengan bus ke Terminal Leuwipanjang. Di sana, mereka menaiki Teman Bus yang nyaman, turun di seberang Rumah Sakit Boromeus, Jl. Juanda. Mereka berjalan kaki menyusuri Jalan Ganesha, lalu berbelok di Masjid Salman ITB, mengukir jejak kaki pertama di dekat kampus impian mereka. Aim, yang sudah lebih dulu tiba dari Medan dan menginap di rumah kerabat, bergabung dengan mereka berdua melalui ojek online.

Pagi itu, mereka bertiga berjalan menuju Labtek I. Di penghujung Jalan Ciung Wanara, perhatian mereka terpaku seperti burung yang melihat biji, pada penjual nasi uduk. Tiga porsi nasi uduk, ditemani telur ceplok dan kerupuk, menjadi bahan bakar mereka. Rasa gurih dan hangat nasi berpadu dengan kriuk renyah kerupuk. Setelah pembayaran non-tunai dilakukan Bapaknya Bedil menggunakan QRIS, beliau berpamitan kembali ke penginapan.

Sekarang, waktu sudah bergeser. Adzan Jumat baru saja usai. Setelah menunaikan salat di Masjid Salman ITB---sebuah bangunan yang memancarkan ketenangan selembut kain sutra---Cahya, Bedil, Aim, dan Dita (peserta yang baru bergabung dengan mereka) berjalan kaki menuju tempat tes. Mereka keluar dari area masjid, menyeberang Jalan Ganesha yang ramai, lalu menyusuri blok-blok perkuliahan.

Mereka sudah mulai hafal jalur itu. Kemarin, Cahya, Bedil, dan Aim, setelah turun dari mobil Mas Yono di gerbang Jl. I, dibantu arahan satpam, sudah menyurvei Gedung Labtek I di dekat Jl. VIII. Bangunan itu kini terasa akrab seperti wajah seorang sahabat lama.

Langkah kaki mereka membawa mereka ke lantai satu Gedung Labtek I. Inilah sesi kedua, setelah sesi pertama yang berakhir jelang pukul 12. Cahya akan mengerjakan tes di Lab 1, Bedil di Lab 2, sementara Aim dan Dita di Lab 3. Mereka berpisah di depan pintu lab, janji dalam hati mereka terikat sekuat rantai baja untuk berusaha maksimal.

Di ambang pintu, Cahya menoleh ke belakang, hatinya dipenuhi rasa terima kasih yang sebesar samudra.

"Terimakasih Mas Yono," bisiknya pelan, berjanji akan mengabarkan hasil dari perjalanannya ini kepada sang sepupu yang telah membantunya menempuh jarak dan waktu. Debar jantungnya kini bukan lagi karena kecemasan, melainkan karena harapan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline