Langit pagi Bandar Lampung berwarna perak lembut saat Raka melangkah ke halaman MTsN 1 Bandar Lampung untuk mengikuti hari pertama MATSAMA. Embun masih menempel di ujung dedaunan, dan aroma tanah basah setelah hujan malam sebelumnya terasa menusuk hidungnya---sejuk, namun menenangkan.
Raka menggenggam tali ranselnya erat, ransel lusuh yang sudah menemaninya sejak SD. Ia merasa kecil di antara lautan seragam putih-hijau yang ramai bercengkerama. Suara tawa, teriakan pelan para siswa lain, dan instruksi panitia membuat telinganya penuh, membuat hatinya bertanya: Apakah aku cocok di sini?
Sambutan pertama datang dari Kak Naya, kakak OSIS berkacamata dengan senyum hangat. "Ayo ke barisan sini ya. Nanti kenalan, jangan malu," katanya sambil menyodorkan tangan. Sentuhan tangannya hangat dan tenang, seperti mengatakan: Kamu sudah berada di tempat yang tepat.
Kegiatan MATSAMA berjalan interaktif---ada tanya-jawab seputar madrasah, permainan karakter, bahkan sesi meditasi ringan. Saat sesi moderasi beragama, guru BK mengajak para siswa merenung: "Kita boleh berbeda, tapi nilai baik itu universal. Jadilah pelita untuk orang lain." Kata-kata itu bergema di dalam hati Raka, seperti getaran halus di dada.
Di rumah, Raka membuka buku catatannya. Di halaman kosong, ia menulis dengan pena biru yang agak bocor:
"Tujuan hidup: Jadi guru yang sabar dan bijak."
Beberapa hari kemudian, saat UKBI Adaptif digelar, suasana madrasah berubah menjadi sunyi dan serius. Suara ketikan di laptop terdengar pelan dari ruang komputer, diselingi bisikan motivasi dari guru pendamping. Raka duduk di kursi nomor 5, tangannya berkeringat dan jantungnya berdegup tak karuan.
"Ayo Raka, kamu bisa," bisik Bu Laksmi sambil menyentuh pundaknya perlahan. Sentuhan itu seperti suntikan semangat, membuat Raka menatap layar lebih percaya diri. Ujian berjalan lancar, dan saat ia menekan tombol Submit, senyum tipis merekah di wajahnya. Ia merasa seperti melangkah setapak lebih dekat ke tujuannya.
Tanggal 21 Juli datang dengan penuh harapan. Upacara Bendera Perdana tahun ajaran baru. Di halaman utama madrasah, deretan siswa berdiri tegak di bawah sinar matahari pagi yang hangat dan menyilaukan. Raka mengenakan seragam baru yang masih kaku, dan sepatu putih yang baru saja dicuci ibunya semalam. Baunya masih terasa---campuran sabun deterjen dan sedikit harum daun pandan dari pengharum lemari mereka.
Bapak Hartawan, kepala madrasah, berdiri di podium dengan suara lantang dan penuh makna.
"Anak-anakku, jangan hadir hanya sebagai siswa. Hadirlah sebagai pribadi yang punya arah. Sekaranglah waktu kalian membentuk masa depan."