Dalam beberapa kali kesempatan, saya menyampaikan jika saya adalah salah satu pihak yang tidak setuju dengan ide penggunaan AI untuk proses belajar anak. Khususnya TK, SD, sampai SMP. Tapi untuk SMK dan SMA boleh lah. Mengapa?
Beberapa waktu lalu, MIT Media Lab merilis sebuah pra-tinjau hasil riset yang menjelaskan tentang dampak ChatGPT / LLM (Large Language Model) pada kerja otak manusia yang dapat mengikis ketrampilan berfikir kritis. Terdengar menyeramkan?
Namun di dalam riset tersebut juga ditemukan fakta jika penggunaan AI (dalam hal ini ChatGPT) juga memberikan manfaat bahkan dorongan luar biasa pada otak jika digunakan sebagai penajam atas apa yang sudah dipikirkan oleh kita. Lho? terus bagaimana?
Kesimpulannya, ternyata AI sebaiknya tidak digunakan oleh mereka yang otaknya masih dalam tahap perkembangan dan pertumbuhan, yaitu kalangan anak-anak. Karena di usia anak-anak ini, otak mereka sedang dalam proses bertumbuh dan berkembang. Jadi di masa ini anak-anak memang harus mengalami proses mencari, mencoba, lalu merasakan salah, rasa kecewa, lalu mencoba memperbaiki lagi, dan begitu seterusnya sampai ia bisa dan berhasil. Proses ini yang kita kenal dengan banyak istilah: belajar dari kesalahan, learning by doing atau lesson learnt. Otak anak-anak sangat membutuhkan proses belajar fase ini.
Selain itu, ada potensi anak-anak ini akan mengira bahwa output yang diberikan oleh AI itu adalah HASIL AKHIR atau hasil yang pasti benar. Padahal output atau hasil generative AI ini idealnya harus masih menjadi bagian dari proses kerja atau proses berfikir kita, sehingga hasil akhirnya tetap keluar dari pemikiran kita.
Hal ini dibuktikan di dalam riset pada kelompok yang diperbolehkan menggunakan GoogleSearch. Sementara pada kelompok pengguna AI, mereka selalu beranggapan bahwa AI itu sama fungsinya dengan search-engine, bahwa apa yang dihasilkan itu pasti benar dan valid. Mereka pun tidak mengetahui bahwa hasil dari AI itu masih sarat dengan bias dan halusinasi.
Jadi menurut saya, stop mengajarkan anak untuk menggunakan AI pada proses belajarnya. Gunakan AI hanya untuk para pengajar atau gurunya saja. Kalau pun hanya ingin menunjukkan teknologi AI-nya, maka bisa dibuat dalam bentuk permainan dan digunakan bersama-sama, tidak dilakukan sendirian oleh masing-masing anak.
Psikiater Dr. Zishan Khan, yang menangani anak-anak dan remaja, mengatakan bahwa ia melihat banyak anak yang sangat bergantung pada AI dalam mengerjakan tugas sekolah mereka. "Dari sudut pandang psikiatris, saya melihat bahwa ketergantungan yang berlebihan pada LLM (seperti ChatGPT) ini dapat menimbulkan konsekuensi psikologis dan kognitif yang tidak diinginkan, terutama bagi kaum muda yang otaknya masih berkembang," katanya. "Koneksi saraf yang membantu mengakses informasi, mengingat, dan kemampuan untuk menjadi tangguh: semua itu akan melemah." - Demikian yang tertulis di Majalah Time.
Jadi bagi para orang tua, sebaiknya juga jangan terlalu pede dan yakin, berfikir sanggup mengajarkan anak-anaknya menggunakan AI hanya karena merasa ahli dan menjamin akan mendampinginya. Mengapa? Pertama karena dampak dari teknologi ini masih belum terbayang akan sejauh apa, lalu bagi kita para orang tua pun bisa jadi belum paham seberapa banyak porsi ideal dalam menggunakan AI itu sendiri. Dengan kata lain.. gunakan AI secukup dan sepantasnya saja, itu pun harus dengan lebih arif, bijaksana, dan waspada (etika AI). Karena teknologi terbaru ini memiliki batas manfaat dan ancamannya sangat tipis sekali. Jika tak berhati-hati maka kita bisa kebablasan merobek batas tipis tadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI