Lihat ke Halaman Asli

Moedi Darmawan

Alumni Universitas Pendidikan Indonesia

Guru, Kapur, dan Papan Tulis

Diperbarui: 19 September 2025   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru dan Papan Tulis (Sumber: wwww.twitter/x/anonim)

Dosen di Harvard, University,   Massachusetts Institute of Technology (MIT), University of Oxpord masih mengajar menggunakan kapur dan  papan tulis atau dengan penamaaan "bor" waktu kecil sekolah dahulu. Bor yang bewarnah hitam ditulis dengan kapur membekas dan dihapus dengan papan tulis yang berbentuk yang terbuat dari kain atau busa melekat dalam kenangan masa sekolah.
Apakah universitas-universitas besar di atas tidak mampu membeli papan canggih, smartboard yang lebih praktis? Atau justru ada alasan "pedagogis" yang penting dibalik penggunaan papan tulis dan kapur sederhana tersebut?
Bor dan kapur yang digunakan dalam proses pembelajaran tidak membanjiri otak dengan berbagai informasi ketika dosen atau guru menggunakan papan tulis ritme penjelasan lebih otomatis, lebih lambat, dan logikanya dapat dicerna siswa dengan natural. Tulisan muncul secara sedikit-sedikit bertahap. Proses tersebut membuat murid mempunyai jeda waktu  untuk mencerna informasi sedikit-demi sedikit dan mengikuti alur berfikir dengan lebih baik.
Girma Hailu seorang dosen di Harvard menjekaskan proses menulis dengan kapur pada papan tulis memberikan kesepatan pada setiap orang untuk menjeda, berfikir, dan menggabungkan/menyimpulkan  informasi , bahkan merangsang proses bertanya. Jadi, papan tulis bukan Cuma media tulis, tetapi juga mengatur tempat belajar yakni otak agar tidak mendapatkan informasi yang berlebihan.
Hal lain, papan tulis dapat digunakan untuk membangun pemahaman secara gradual sebagai konstruksi pengetahuan yang lebih utuh. Dari papan tulis yang kosong , pelan-pelan terisi simbol-simbol, rumus, hingga penjelasan  yang nyambung satu sama lain. Murid bisa melihat alur logika tidak sekedar menghafal finalnya. Itulah kenapa papan tulis  masih relevan secara pedagogis, bukan karena teknologinya lebih baik, tapi karena proses berfikir yang lebih natural, secara bertahap, dan real (nyata).
Saat ini kita seringkali terkesiam dengan canggihnya smartboard, seakan akan kalau kalau ada kelas yang memakai teknologi canggih otomatis belajar akan menjadi lebih baik. Padahal teknologi hanya sekedar alat bantu bukan yang utama. Proses pendidikan pada akhirnya tetap bagaimana membuat siswa faham, kritis, berfikir solusi dan mampu memahami sesuatu yang rumit menjadi sederhana. Sehingga guru bahjan pemerintah harus lebih bijksana dalam penggunaan teknologi. Teknologi canggih dlam kondisi tertentu mungkin sangat dibutuhkan namun jangan sampai kehilangan pedagogi, hingga pembelajaran kehilangan makna.
Prioritas Pendidikan Kita Saat Ini?
Hasil PISA  menunjukan kemampuan membaca, matematika, dan sains masih sangat rendah. Padahal kemampuan ini fondasi untuk belajar hal-hal yang lebih kompleks. Hingga kondisi ini harus segera dicarikan solusinya. Apakah dengan kucuran program digitalisasi pendidikan? Sepertinya belum cocok, karena masalahnya adalah kemampuan membaca, matematika, dan sains yang masih rendah, yang harus dilakukam adalah memperbaiki dari sisi pedagogis guru bahkan pemenuhan saraana dan prasaran pembelajaran yang lebih memadai. Ruang kelas, sekolah, laboratorium, bengkel praktek, perpustakaan sekolah, listrik,  akses internet, dan akses jalan menuju sekolah. Infrastruktur dasar sekolah ini harus dibenahi dulu. Lalu peningkatan kapasitas guru dalam mengajarkan STEM khususnya di tingkat dasar dan menengah harus ditingkatkan. Tidak cukup hanya dengan PPG? PPG selama ini kurang berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan, dan yang lebih utama sejahterakan dulu kesejahteraan guru tanpa memandang status. Sungguh ironi bila guru mengajar dengan smartboard canggih ratusan juta sementara sang guru hanya digaji Rp.500.000,- per bulan.
Guru Tetap Kunci Utama
Masalah pendidikan bukan sekedar smartboard  dan peralatan yang berteknologi tinggi, namun yang dibutuhkan guru yang cerdas dalam mengajar  dan siswa yang siap untuk belajar. Guru yang faham cara mengajar akan mudah dimengerti oleh siswa. Disinilah pentingnya perguruan tinggi yang menghasilkan guru berkualitas, Universitas Pendidikan Indonesia (IKIP Bandung), Universitas Negeri Jakarta  (IKIP Jakarta), Universitas Negeri Yogyakarta (IKIP Yogyakarta) dan beberapa pertungguan eks IKIP harus segera membenahi proses pendidikan guru.
Bila pemerintah serius mau meningkatkan kualitas pendidikan benahi infrastruktur pendidikan, tingkatkan kualitas pendidikan guru, dan sejahterakan guru dengan layak. Semoga .***

*Tulisan ini disarikan dari instagram zeniuedu

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline