Lihat ke Halaman Asli

KANG NASIR

TERVERIFIKASI

petualang

Jalan Menuju Istana

Diperbarui: 6 November 2018   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto : klimg.com

Banyak jalan menuju Roma, demikian  pepatah sering dikatakan orang. Pepatah itu menggambarkan tentang banyak  cara untuk mencapai satu tujuan.

Untuk saat ini, pepatah itu saya ganti menjadi "Banyak jalan menuju Istana". Mengapa harus Istana?, ya karena kalau saya ganti menjadi "Banyak jalan menuju Surga atau Neraka", nanti banyak orang yang mengira saya pendukungnya Farhat Abas.

Istana memang punya daya tarik  tersendiri bagi orang atau kelompok tertentu. Istana adalah sebagai  pusat sekaligus pusaran kekuasaan. Di istana itu ada singgasana, di  Istana itu banyak kursi yang empuk, di istana itu banyak jabatan yang  menggiurkan, bahkan diluar istanapun banyak kursi atau jabatan yang  diburu orang asalkan bersinggungan dengan Istana.

Intinya, bagi kelompok ini, mereka  berebut jalan menuju Istana tujuannya hanya satu yakni berebut  kekuasaan, lepas dari apapun visi dan misinya. Namun demikian, tidak  semua orang berebut jalan menuju Istana hanya ingin mendapatkan  kekuasaan, ada juga orang atau kelompok menuju Istana justru ingin  bertemu dengan si empu kekuasaan untuk mengadu agar nasibnya di  perhatikan.

Untuk menuju dan menduduki Singgasana  Istana,  tidak selamanya mulus, kadang terjadi  intrik   bahkan bisa  saling bermusuhan. Tentu kita masih ingat sejarah jaman dahulu kala.  Untuk menduduki Singgasana kadang terjadi persetruan dan permusuhan  antara saudara. Persetruan seperti ini pernah  terjadi, salah satunya di  Kerajaan Mataram abad 17  yakni Persetruan antara Raja Amangkurat I  dengan Raja Amangkurat II yang tak lain adalah persetruan antara orang  tua dan anak. Ini terjadi karena perebutan  kursi Singgasana di Istana  lepas apapun latar belakangnya.

Demikian pula halnya dengan posisi kusri  dan jabatan lain di lingkungan Istana. Siapapun orangnya  yang punya  nafsu untuk duduk di kursi empuk dengan jabatan tertentu di lingkungan  Istana, orang bisa  berbuat apa saja, kalau perlu fitnah dan kebohongan  di tebar kemana mana hanya untuk mendapat citra. Dalam cerita pewayangan, pernah seorang pembohong  dan tukang fitnah bisa menduduki kursi empuk di Kepatihan.

Tokoh itu tak lain adalah Tri  Gantalpati, tokoh ini pandai memainkan peran, kadang ia pakai nama Harya  Suman, kadang ia pakai nama Sang Maha Julig. Tri Gantalpati ini banyak  akal, oleh karena itulah wataknya jadi licik. Adapun tabiatnya ia suka  iri dan  haus kekuasaan. Untuk memuluskan keinginnya, Tri Gantalpati tak  segan melakukan sesuatu dengan menghalalkan segala cara.

Sebelum menjadi Patih, Tri Gantalpati  hanya rakyat biasa, hanya saja karena watak dan tabiatnya seperti  diatas, Tri Gantalpati berhasil menghasut dan menyebar kebencian kepada  para kurawa  bahwa Patih Gandamana  yang sedang berkuasa  adalah Patih  yang tidak bener.

Kurawa berhasil di hasut, maka Patih  Gandamana-pun ramai ramai di bantai para kurawa, jasadnya dimasukkan ke  dalam sumur. Segera setelah itu, Tri Gantalpati yang licik dan banyak  akal, membuat laporan palsu kepada Prabu Pandhu tentang kejadian yang  menimpa Patih Gandamana. Prabu Pandhu berhasil di kadalin, dengan  laporan palsu itu, ahirnya Tri Gantalpati dipercaya menduduki jabatan  bergengsi yakni menjadi Patih, sejak saat itu Tri Gantalpati berubah  menjadi Patih Sengkuni.

Lantas bagaimana dengan perebutan  Singgasana di Istana pada jaman modern atau zaman Demokrasi sekarang  ini?, tunggu episode selanjutnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline