Lihat ke Halaman Asli

Sadarlah, Reklamasi dan Ahok Dua Hal yang Berbeda

Diperbarui: 18 Mei 2016   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gagasan awal Giant Sea Wall yang dikembangkan menjadi Proyek Garuda (giant sea wall. ©s1303.photobucket.com)

Hari-hari ini, tensi politik Ibu Kota kian mendidih. Berbagai isu digoreng dan diseret tumpang tindih. Masyarakat dibelah dan digiring saling membenci.

Salah satu isu yang secara paksa dijejalkan ke jiwa raga Jakarta yang tengah melakoni proses demokrasi dan suksesi, adalah soal reklamasi. Frasa ini, entah kenapa secara emosional dibenci oleh sekelompok kecil kalangan.  Orang lain yang berbeda pandangan, enteng mereka teriaki dan maki-maki.

Begitulah, jika musim politik tiba, kita menyaksikan banyak yang tiba-tiba hilang akal dan lumpuh logika. Segala sesuatu dipolitisasi dengan sesuka kata dan lidah. Termasuk upaya menyelamatkan Jakarta dari ancaman banjir, dan bahkan diprediksi bakal tenggelam dan punah jika tidak ada langkah nyata. Juga tak luput dari serangan mem-ba-bi-buta.

Pikiran menyelamatkan Jakarta dari ancaman tenggelam tahun 2030 ini dilahirkan sejak era Presiden Soeharto. (Chairul Tanjung : Soeharto Tau Jakarta Bakal Tenggelam tahun 2030)

Lalu ide tersebut direalisasi oleh Presiden SBY dengan langkah nyata memasang tiang pancang pada 9 Oktober 2014. Presiden Jokowi mempertegas melalui integrasi dengan 17 Pulau reklamasi. Maka amat sangat sayang, hanya karena kepentingan politik untuk merebut kekuasaan dan selama 5 tahun bertengger di singgasana Ibu Kota, proyek yang telah 20 tahun disiapkan ini, harus terganjal. Jangan sampai deh.

Karena itu, kita harus sadar. Bahwa upaya menyelamatkan Jakarta dari ancaman tenggelam tahun 2030 seperti diungkapkan banyak pihak, harus dilihat secara jernih. Jangan dicampur aduk dengan urusan politik.

Biarlah mereka yang mau rebutan kekuasaan berlaga secara fair. Jangan pertaruhkan masa depan Ibu Kota di keranjang syahwat kuasa. Ingat, Jakarta adalah Ibu Kota negara. Wajah Jakarta yang kumuh, kotor, jorok dan selalu tenggelam oleh banjir tiap kali turun hujan, merupakan refleksi wajah bangsa dan seluruh isinya. 

Tidak kah anda-anda malu, Jakarta disorot dunia karena banjir? Aduh, sungguh terlalu.

Syukur-syukur, ada banyak developer di negeri ini yang mau memikirkan pembangunan Jakarta yang tak mungkin dilaksanakan oleh pemerintah seluruhnya. Kalau saja tidak ada Agung Podomoro dan kawan-kawannya, atau perusahaan apapun itu yang membangun kawasan yang kalian sebut  “elit”, maka seluruh wajah Jakarta adalah kumuhan dan kesemrawutan. Jauh dari kota yang layak disebut civilized dan liveable.

Kalau kawasan-kawasan pinggiran Jakarta Utara seperti Ancol dan Pluit tak disentuh oleh developer, maka dijamin saat ini wajahnya paling-paling kayak Marunda, Kalijodo atau Pasar Ikan yang sekarang masih “JAKARTA BANGET”.

Sadarlah, Ahok dan reklamasi harus dilihat sebagai dua hal berbeda. Karena itu, juga disikapi tidak sama. Ahok adalah politik, sementara reklamasi merupakan upaya membangun, menata, menambah luas lahan dan suplai hunian serta menyelamatkan Jakarta. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline