Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Tayang Ulang Masa Lalu

Diperbarui: 16 Juni 2019   18:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: pixabay.com

Di depan layar bioskop yang kesepian karena selalu saja berkisah tentang romantika, peperangan, kepahlawanan atau horor orang mati yang menakut-nakuti dan sama sekali tidak pernah bercerita tentang dirinya sendiri, aku memandangi kainnya yang seputih susu sapi setelah difermentasi, memucat ketika berduyun-duyun penonton pergi.

Aku membayangkan dirinya pasti lebih kesepian sekarang. Berdiri di hadapan tumpukan kursi yang berjajar rapi. Tanpa riuh tepuk tangan, gelak tawa atau sedikit caci maki.

Aku membayangkan diriku di sana. Di atas panggung tak berwarna yang menyuguhkan pementasan atas kegelapan, tanpa cahaya, tanpa suara. Aku mungkin bisa berekspresi lebih menggila dengan mengakui semua hal dan segala rupa.

Bahwa aku ini sebenarnya seorang pecinta yang nyaris gagal mencintai, seorang pengkhayal yang terus-terusan berharap dunia di dalam kepala berputar sekehendak hati. Lantas kemudian meminta mati karena patah hati.

Bahwa aku pernah mati-matian bersekutu dengan masa, memusuhinya, lalu memeranginya dengan membabi-buta. Karena sebab dan perkara yang aku sendiri tak tahu apa. Aku hanya tak menyukainya. Itu saja.

Bahwa aku pernah membuat ibuku menangis dalam diam karena aku lebih memilih tenggelam ditelan waktu senggang daripada harus muncul di permukaan lalu ditampari gelombang yang sedang pulang menuju pesisir yang lengang.

Bahwa aku pernah mengingkari datangnya matahari dengan selalu memunggungi pagi hingga akhirnya petang membangunkanku dengan segenap perasaan benci. Barangkali.

Bahwa aku pernah berusaha memusuhi malam sampai-sampai aku membakar sekelilingku dengan amarah yang tumpah ruah sehingga aku tak pernah kehilangan nyala api di kepala yang dipenuhi dengan sumpah serapah. Entahlah.

Bahwa aku pernah mengotori langit dengan prasangka akan hujan setelah melihat mendung berkumpul padahal mereka hanya melakukan upacara peringatan akan adanya pergantian shift jaga atas cuaca.

Ini semua tentang tayang ulang masa lalu yang sedikit banyak membuatku dungu bila tak habis-habisnya terus saja mencambuki benakku yang terlalu lama membatu kepada hal-hal tak tentu. Begitu.

Jakarta, 15 Juni 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline