Lihat ke Halaman Asli

Analisis secara mendalam prinsip-prinsip perkawinan dalam uu no 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam sebagai berikut: asas sukarela dst.

Diperbarui: 25 Februari 2025   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

berikut asas-asas yang harus ada di dalam prinsip-prinsip perkawinan

1. Asas Sukarela

    Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka suatu perkawinan harus mendapat persetujuan dari kedua calon suami istri, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. Dalam hal ini undang-undang menentukan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974). Sementara pada KHI ditemukan pada Pasal 16 ayat 1 dan 2. Pada Pasal tersebut dijelaskan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai (ayat 1). Bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tak ada penolakan tegas (ayat 2).

2. Asas Partisipasi Keluarga

    Pada dasarnya anak yang telah mencapai usia perkawinan (Pasal 7 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 15 ayat 1 KHI) telah dipandang dewasa, la mampu bertindak hukum dan dapat menentukan pilihannya sendiri. Namun karena perkawinan adalah merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, karena ia akan menginjak dunia baru, membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari keluarga besar, dan sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang religius dan kekeluargaan, maka diperlukan partisipasi keluarganya untuk merestui perkawinan itu. Oleh karena itu bagi yang masih berumur di bawah 21 tahun (pria dan wanita) maka diperlukan izin dari orang tuanya (Pasal 6 UU No. 1/1974 dan Pasal 15 ayat 2 KHI). Kemudian peran wali juga sangat urgen, sebab bila tidak ada wali maka perkawinan tersebut tidak sah. Peran wali dibutuhkan karena sebagai salah satu rukun perkawinan (Pasal 6 ayat 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 14,19 dan 20 KHI).

3. Perceraian dipersulit

    Perceraian adalah suatu peristiwa yang sangat tidak disenangi oleh istri. la adalah bagaikan pintu darurat di pesawat udara yang tidak perlu digunakan kecuali dalam keadaan darurat demi untuk mengatasi suatu krisis. Penggunaan cerai tanpa kendali akan merugikan bukan saja kepada suami istri, tetapi terutama kepada anak-anak dan masyarakat pada umunya. Banyaknya kasus kriminal yang dilakukan anak-anak nakal (juvenile deliquency) disebabkan oleh kondisi keluarga yang broken home. Untuk itu undang-undang menentukan bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan (Pasal 39, 40 UU No. 1 tahun 1974 dan Pasal 115, 116 KHI).

4. Poligami dibatasi secara ketat

    Perkawinan menurut undang-undang ini adalah monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Seperti halnya perceraian, poligami juga merupakan momok yang ditakuti oleh kaum wanita. Pelaksanaan poligami tanpa pengaturan yang ketat telah menimbulkan akibat yang serius dalam rumah tangga. Hubungan antara istri (madu) menjadi tegang, sementara hubungan antara anak-anak yang berlainan ibu dapat menimbulkan pertentangan apabila si bapak meninggal. Untuk itu undang-undang perkawinan dan KHI memberikan persyaratan yang sangat sulit bagi seseorang untuk melakukan poligami (Pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 55, 56, 57, 58 dan 59 KHI).

5. Kematangan calon mempelai

    Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah matang jasmani dan rohaninya untuk melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu perkawinan anak-anak di bawah umur sedapat mungkin dicegah. Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Ternyata, batas umur yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Oleh karena itu baik undang-undang maupun KHI menentukan batas umur kawin, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita, yang kemudian diubah menjadi sama-sama berusia 19 tahun baik laki-laki maupun Wanita berdasarkan UU No. 16 Tahun 2019.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline