Lihat ke Halaman Asli

Miftahul Abrori

Menjadi petani di sawah kalimat

Mengingat Sejarah UN dan Modus Curang demi Siswa Lulus

Diperbarui: 12 Desember 2019   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siswa terlihat serius mengerjakan ujian. Foto: JPNN.com

Beberapa kalangan pendidik dan siswa menyambut gembira keputusan Mendikbud Nadiem Makarim yang menghapus penyelenggaraan ujian nasional (UN) pada 2021. Jika penilaian kelulusan siswa selama ini berdasar UN, tahun 2021 asesmen kompetensi dan survei karakter menjadi acuan sekolah.

UN pernah menjadi momok menakutkan sejak pertama kali dilaksanakan. Sedikit mengulik sejarah, ujian siswa pada tahun 1980 - 2000 bernama Evaluasi Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). 

Seingat saya yang tamat SD tahun 1997 dan lulus SMP tahun 2000, mengikuti ujian waktu itu bukan hal menakutkan. Kelulusan siswa tidak berpatokan pada nilai Ebtanas. Namun, jika akan melanjutkan sekolah, NEM ( Nilai Ebtanas Murni) yang tinggi berkesempatan diterima di sekolah negeri atau favorit.

Tahun 2000 - 2004 ujian sekolah/siswa berganti Ujian Akhir Nasional (UAN). Lalu tahun 2005 berganti Ujian Nasional (UN).
Saya yang menamatkan jenjang SMA pada 2006 merasa ngeri jika mengingat keangkeran UN kala itu. Momok tidak lulus kerap membuat siswa waswas.

Sekolah dan guru seakan merasa gagal jika tidak mampu meluluskan semua peserta didik. Beberapa sekolah menggelar les tambahan pada sore atau malam hari. 

Buku kisi-kisi ujian nasional tahun terdahulu diburu siswa. Penerbit dan penulis buku untung, siswa mumet mengerjakan ujian sebelum ujian betulan.

Ada pula siswa yang mengikuti les privat dan kelas bimbingan belajar (bimbel) berbiaya tak murah. Guru les dan penyelenggara bimbel mendapat berkah. 

Mendekati hari ujian nasional siswa panik, sekolah menggelar doa dan mujahadah setiap malam. Belajar dan usaha mempersiapkan "perang" sudah cukup maksimal, kini tinggal pasrah dan berdoa kepada Tuhan agar mendapat nilai terbaik dan lulus. 

Sedang orang tua tak luput merapal doa dan harap-harap cemas nasib anaknya lulus atau tidak.

Ada oknum sekolah, guru, dan murid di beberapa daerah menghalalkan segala cara agar berhasil mendapat nilai tinggi. Modus kecurangan bermunculan. 

Kadang berjalan rapi, kadang tertangkap basah oleh pengawas ujian, kadang terdeteksi pengamat pendidikan dan tersebar di media massa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline