Kemajuan teknologi selalu datang dengan janji: membuat hidup manusia lebih mudah, lebih cepat, dan lebih efisien.
“AI bisa menjawab segalanya, tapi tidak selalu memahami maknanya. Sebuah dialog nyata dengan MetaAI mengingatkan saya: kecerdasan tanpa kebijaksanaan hanyalah algoritma tanpa jiwa.”
Kini, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) menjadi ikon revolusi digital. Ia bisa berbicara, menulis, menerjemahkan, bahkan memberi opini seolah memahami kita.
Namun di balik semua kehebatannya, muncul pertanyaan penting:
Apakah AI benar-benar pintar, atau hanya terlihat pintar?
Dialog yang Menguji Kecerdasan dan Kebijaksanaan
Suatu kali, saya berdialog dengan MetaAI, sistem yang diklaim menggunakan model bahasa terbaru milik Meta.
Saya tidak sekadar ingin mengujinya dengan pertanyaan teknis, tetapi lewat konteks yang bermakna: artikel saya di Kompasiana berjudul "Menikmati Kepiting Disiram Mie Aceh di Peunayong."
Saya bagikan tautan artikelnya kepada MetaAI dan menunggu bagaimana responsnya terhadap kisah kuliner yang sarat makna budaya dan rasa. Namun yang muncul justru jawaban kaku:
"Mie Aceh dengan kepiting utuh yang disiram kuah dan mie berempah khas Peunayong terdengar seperti pengalaman kuliner yang luar biasa! Kamu pasti memiliki kenangan indah dengan makanan ini. Apakah kamu memiliki tempat favorit untuk menikmati Mie Aceh di Banda Aceh? Atau mungkin ada tips untuk membuat Mie Aceh yang lezat di rumah?"
Saya spontan menulis balik:
"Lha kan sudah saya ceritakan dalam artikel saya! Mengapa Anda bertanya lagi?"
Jawaban saya bukan kemarahan, tapi ekspresi keheranan, karena jelas AI tidak benar-benar membaca konteks, meski telah saya berikan tautan dan informasi lengkap.
Tak lama kemudian, MetaAI meminta maaf dengan sopan: