Lihat ke Halaman Asli

Melathi Putri Cantika

keterangan profil

Belajar Dangkal, Belajar Dalam

Diperbarui: 28 Desember 2020   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berangkat dari cibiran orang-orang tentang para phone addict (bukan porn, tapi phone), baru saya sadari bahwasanya ada beberapa, jika tidak mau menyebut banyak, orang yang menganggap bahwa memegang ponsel adalah tidak sama dengan melakukan kegiatan produktif (dalam konteks kegiatan belajar). Saya geli sekali dengan orang yang seakan tahu apa itu kegiatan produktif tetapi gagal paham akan bagaimana memproyeksikan konsep belajar dalam satu teropong besar.

Ada beberapa pandangan yang tidak secara eksplisit mengatakan bahwa belajar adalah suatu kegiatan serius, methenteng kalau kata orang Jawa dan ditemani dengan lembaran shuhuf yang bukan merupakan kitab suci, tetapi buku. Lebih ngeri lagi ketika orang-orang yang punya pandangan ini adalah anak muda yang notabenenya diharapkan punya mata lebih lebar daripada generasi sebelumnya, native digital generation kata dosen saya.

Pendangkalan konsep belajar ini berimbas pada ketidakmampuan seseorang untuk melihat layar ponselnya sebagai jendela dunia versi baru. Sebab saya rasa orang yang pertama kali menuliskan kata-kata "buku adalah jendela dunia", tidak pernah sekalipun menyatakan apa definisi dari buku. Bisa saja zaman sekarang, buku dapat dipahami sebagai layar berukuran kurang dari 10 inci yang akan menampilkan tulisan-tulisan dari berbagai belahan dunia manapun dalam sepersekian detik. Pemaknaan buku saja, saya kira sudah perlu redefinisi (tetapi saya tidak akan membicarakan ini).

Mungkin zaman yang sudah bergulir lebih cepat ini tidak hanya perlu dilihat dari cara melakoni kehidupan dengan cara yang berbeda, tetapi bagaimana harusnya kita memahami ulang makna-makna yang perlu sekali lagi dicek dan diperbarui definisinya di dalam kamus besar bahasa.

Persis seperti yang saya utarakan pada bagian awal, bahwasanya belajar bukan tentang bagaimana satu orang mengoceh di depan puluhan orang lain dengan konsentrasi penuh. Sebab bangku dan dinding yang mengeksklusifkan murid dan mahasiswa (mungkin agar orang yang tidak membayar tidak dapat mendengar apa yang mereka diskusikan) sepertinya membuat mereka merasakan ilusi "sudah belajar". 

Saya menyadarinya terlambat. Seluruh proses belajar formal sudah lewat dan saya baru sadar bahwa apa yang saya lakukan adalah salah. Saya merasa bahwa belajar adalah apa yang saya lakukan di balik dinding dan ketika ke luar kelas, saya merasakan "ilusi sudah belajar".

Izinkan saya menjelaskan arti "ilusi sudah belajar" secara singkat. Berbeda dengan orang-orang dulu yang belajar hanya dengan membaca buku, mempelajari peta, belajar dari alam tanpa ada penyekat yang membuat mereka merasa eksklusif, tanpa ada guru resmi yang mengajari mereka dengan kurikulum tertentu, kita tidak bisa menemuinya di zaman moderen. 

Pada zaman ini, semuanya sudah terstruktur dan sistematis (bisa jadi masif bisa jadi tidak). Tentu akan memudahkan kita, tetapi ada efek samping yang saya yakin tidak semua orang tahu.
Dengan pergi ke sekolah, mengenakan seragam dan duduk manis di balik bangku yang mungkin mereka gunakan untuk menyembunyikan ponsel mereka, mereka bisa saja lupa apa tujuan mereka ada di tempat itu. Yang semula tujuan awalnya adalah untuk mengetahui apa yang belum mereka tahu, menjadi bergeser ke tujuan "melakukan aktivitas itu agar disebut belajar". Apa saya belum cukup jelas? Satu lagi ilustrasi cukup bagus untuk menjelaskan.

Di negeri yang tengah dilanda wabah penyakit menular, para pembuat kebijakan memikirkan cara agar penduduknya tidak terlalu banyak tertular dan akhirnya tewas. Caranya adalah membelitkan kain di mulut dan hidung agar virus yang menular lewat pernafasan itu berkurang potensi masuknya ke dalam tubuh.

Aturan pun dibuat, tetapi penduduk banyak sekali yang lupa bahwa membelitkan kain ke hidung dan mulut itu bertujuan untuk mencegah kematian. Mereka mengecilkan tujuan membelitkan kain itu semata untuk mematuhi peraturan. Sehingga kain yang dibelitkan di sekitar kepala itu seringkali dilepas-pakai di sela aktivitas mereka. Secara teknis, kain yang tidak sedang menutup hidung dan mulut tapi tersandar di leher tetaplah mematuhi aturan, pikir mereka.

Dalam hal belajar-membelajarkan diri, sistem yang harusnya memudahkan kita untuk belajar mengikuti aturan dan standar tertentu malah bisa saja membuat kita terpeleset dan memahami kegiatan belajar menjadi sesuatu yang baku dan pakem. Semisal, belajar harus ada di ruang kelas, berada di bawah naungan lembaga formal, harus pula ada guru. Meskipun aspek terakhir memang harus ada pada beberapa disiplin ilmu, tetapi poinnya adalah bahwa kita perlu definisi belajar yang lebih luas. Mengobrol dengan orang asing, membaca coretan di kursi, melamun (karena saya banyak menemukan hal-hal baru dari berpikir sendirian) sepatutnya dihitung sebagai aktivitas belajar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline