Lihat ke Halaman Asli

Mawan Sidarta S.P.

TERVERIFIKASI

Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan, Kreator sampah plastik

Pandemi, "Riyoyo Gak Nggoreng Kopi", Berbelanja Sebatas Kemampuan

Diperbarui: 7 Mei 2021   17:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah ilustrasi (Sumber : Informa)

Hari Raya Idul Fitri atau lebaran sebentar lagi tiba. Sebagian umat Islam di tanah air tentunya sudah mempersiapkan diri menyambut hari kemenangan itu. 

Dua kali lebaran di tengah masih merebaknya pandemi memang terasa beda. Rakyat kecil seperti kami ikut merasakan dampaknya. 

Ketika sedang rasan-rasan (berbincang-bincang) dengan beberapa kenalan menggunakan bahasa khas Jawa Timuran, salah satu kenalan nyletuk "Yok opo rek, kate riyoyo kok kecut ngene" (bagaimana kawan, mau lebaran gini kok terasa tidak seperti dulu ya). 

Setelah ngobrol, ngalor-ngidul sayapun sambil mesem gantian nyletuk, "Hla iyo aku dhewe kate riyoyo yo gak nggoreng kopi" (Lha iya saya sendiri mau berlebaran gini juga tidak menggoreng kopi). 

Sekadar untuk diketahui, "Riyoyo gak nggoreng kopi, ngadep mejo gak onok jajane" sebenarnya merupakan kidung parikan (nyanyian) yang tak jarang diperdengarkan oleh salah seorang penyanyi sekaligus menjadi pemain saat pementasan kesenian ludruk. 

Dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih "Lebaran tidak menggoreng kopi, menghadap meja tidak ada kuenya". 

Nyanyian (parikan) ludruk ini sudah ada jauh-jauh hari sebelum merebaknya pandemi. Mungkin saja usianya setua saat kesenian ludruk pertama kali diperkenalkan di tengah masyarakat Jawa Timur kala itu. 

Sudah menjadi tradisi sebagian masyarakat Jatim di masa itu kalau menjelang lebaran (Jawa = riyoyo) pasti menggoreng (menyangrai) biji kopi untuk dijadikan minuman andalan para tetamu yang bersilaturahim (unjung-unjung) ke rumah. 

Apakah itu saudara sendiri, tetangga, rekan kerja atau sanak-kerabat lainnya.  
Selain minuman kopi, beragam kue lebaran tertata rapi di atas meja. 

Tentunya tradisi ini tetap dilakukan oleh mereka yang kondisi ekonominya lapang (cukup). Bagi mereka yang sedang kesulitan ekonomi (Jawa = kecut) akan memilih merayakan lebaran dalam suasana keprihatinan, menyesuaikan dengan kondisi perekonomian yang ada. Itu terungkap dalam parikan "Riyoyo gak nggoreng kopi, ngadep mejo gak onok jajane". 

Merebaknya pandemi yang berkepanjangan, bahkan kini mulai santer tersiar kabar ada beberapa warga Indonesia yang terinfeksi Covid-19 strain baru dari India tak pelak mendorong pemerintah menerapkan larangan ketat tradisi pulang kampung (mudik). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline